Menanti "Janji Manis" Desentralisasi Pengelolaan Hutan dan Ruang

By , Selasa, 11 November 2014 | 15:40 WIB

Pengelolaan hutan dan ruang yang baik adalah sinyal penting tentang baiknya pengelolaan sumber daya alam oleh daerah. Sejak era desentralisasi diberlakukan di Indonesia, kabupaten/kota memiliki ruang kewenangan yang lebih besar, baik secara politik dan administratif, dalam pengelolaan hutan dan ruang.

Kewenangan ini diikuti pula dengan kewenangan di bidang anggaran dari dana transfer pusat ke daerah. Kondisi ini diharapkan dapat mendorong akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan hutan dan ruang, sehingga menghasilkan pelayanan/pengelolaan yang lebih baik. Sayangnya satu dekade setelah desentralisasi dijalankan, janji manis desentralisasi ini belum terbukti, terlebih melihat indikasi degradasi lingkungan dan kehilangan hutan yang terus terjadi.

Permasalahan yang diungkapkan di atas merupakan salah satu fokus kajian doktoral dari Fitrian Ardiansyah (The Australian National University). Selama lebih dari 16 tahun bergelut di bidang pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, kehutanan dan tata ruang, energi, Fitrian Ardiansyah ialah seorang pegiat, praktisi, juga peneliti.

Saat presentasi kajiannya itu dalam lini diskusi Tebet School yang diadakan oleh LSM Article 33 Jakarta, Senin (10/11), Fitrian memaparkan beberapa temuan penting — yang mengindikasikan bahwa meningkatnya pendanaan dan besarnya anggaran di daerah tidak berbanding lurus dengan kualitas pengelolaan sumber daya alam.

Namun demikian, masih ada secercah peluang untuk mendorong desentralisasi berkontribusi ke dalam pengelolaan hutan dan ruang yang lebih baik.

!break!

Misalnya, di tingkat daerah, kebijakan/peraturan daerah yang terkait dengan sektor penataan ruang, lahan dan kehutanan meningkat 5 kali lipat antara periode 2001-2009 (dibandingkan 1990-2000), dari 1100 menjadi 5.914 peraturan daerah.

Dikeluarkannya peraturan daerah yang mengatur penataan ruang, hutan dan lingkungan berkolerasi negatif dengan deforestasi (menurunkan deforestasi), sementara peraturan daerah yang berkaitan dengan pertanian, pertambangan, energi dan infrastruktur berkolerasi positif dengan deforestasi (memicu meningkatnya deforestasi).

Pemetaan kerusakan lahan hutan implikasi RTRW Aceh

Artinya terdapat peluang bahwa bila peraturan daerah tersebut diformulasikan dengan lebih baik, akan dapat berkontribusi terhadap penurunan deforestasi.

Hasil ini berdasarkan dari analisis secara kuantitatif dari 7000-an peraturan daerah dan variabel lainnya yang terkait di setidaknya 300 kabupaten/kota di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dari periode tahun 1990-2009.

“Pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai peluang memperbaiki sistem desentralisasi kehutanan dan tata ruang ini melalui perbaikan skema insentif dan pendanaan yang tepat, reformulasi anggaran kepada daerah, bantuan teknis dan pengawasan yang memadai.

Sekaligus membuat indikator keberhasilan untuk menilai kebijakan daerah, yang bila digunakan akan setidaknya mendorong pemerintah daerah untuk lebih bijak dalam mengelola sumber daya alamya,” ujar Fitrian.

Kajian doktoral ini pun diharapkan bisa berkontribusi dalam perbaikan tata kelola sumber daya alam di Indonesia, terutama dalam merumuskan agenda-agenda strategis pemerintahan baru.