Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels (1797-1849). Sketsa karya W.R van Hoevell. Komandan Pasukan Gerak Cepat Ke-11 pada akhir Perang Jawa. (Tijdschrift voor Nederlands Indie/Wikimedia Commons)
Michiels inilah yang nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Sebuah peristiwa yang terjadi tepat pada hari lahir Dipanagara—kado sial untuk Sang Pangeran di hari ulang tahunnya yang ke-44. Serdadu Belanda dan Arafura melakukan pengejaran di bawah komando Michiels.
Pangeran Dipanagara (1785-1855) yang pasca pecahnya Perang Jawa pada 1825 memilih dipanggil dengan Sultan Ngabdul Khamid Erucakra. (Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV)
Pertempuran sengit itu membuat Dipanagara dan laskarnya tercerai berai. Sejak saat itu pula Sang Pangeran mundur ke barat, menyeberang Kali Progo dan tak pernah lagi menjejakkan kakinya di Tanah Mataram.
Michiels Monument di Waterlooplein West. Bangunan di sisi kanan belakang adalah Roomsekerk, kini Gereja Katedral. Foto oleh Isidore van Kinsbergen sekitar 1870. (Tropenmuseum/Wikimedia)
Setahun sebelumnya, pada November 1828, Kiai Maja memutuskan untuk menyerah kepada Belanda di lereng Merapi karena tidak sependapat dengan Dipanagara soal pendirian keraton dan keluhuran agama Islam.
Dipanagara pun kesepian ditinggalkan para pengikutnya di akhir perang lima tahun yang melelahkan. Kelak, setelah Sang Pangeran dijebak dalam sebuah pengkhianatan di Wisma Residen Magelang, dia harus menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang di pengasingan. Dia tak pernah kembali ke Jawa.
“Dia punya badan sangat kuat, tetapi kecil dan agak pendek,” ujar Carey. Sebenarnya situasi militer sudah tak ada harapan, demikian kata Carey, tetapi Dipanagara masih bertahan untuk lolos. “Saya tidak mengerti dia bisa empat bulan hanya jalan kaki. Ketika malam dia tidur didalam gua atau di bawah pohon. Bahkan, dia sering tidak bisa makan.”
Batu Nisan Andreas Victor Michiels yang abadi di bekas Kerkhof Kebonjahe, kini Museum Taman Prasasti. Pada akhir Perang Jawa, Michiels bertugas sebagai komandan tentara Hindia Belanda untuk pasukan gerak cepat ke-11 dan bermarkas di kawasan Wonosobo. Michiels dan pasukannya melakukan operasi pengejaran di Ledok dan Gowong. Michiels tewas dalam ekspedisi militer di Pantai Kusamba, Klungkung, Bali. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Perang Jawa telah meminta tumbal nyawa yang mengerikan. Taksirannya, sekitar 200.000 orang Jawa binasa sehingga penduduk Yogyakarta tinggal separuh. Sementara itu sekitar dua juta orang lainnya hidup sengsara. Ternak habis dan pertanian rusak berat. Sekitar 15.000 serdadu Hindia Belanda hilang dan tewas. Hampir separuhnya serdadu pribumi. Belanda pun nyaris bangkrut!
Pasca-Perang Jawa, Michiels bertugas dalam Perang Padri. Sekitar empat tahun setelah Dipanagara menempati pengasingan barunya di Makassar, Michiels menjabat sebagai Gubernur Pantai Barat Sumatra. Pangkat mayor jenderal mulai menghias dada kirinya sejak 1843. Karena kegemilangan prestasinya, dia menjabat sebagai komisaris pemerintahan urusan Bali dan komandan KNIL dalam sebuah ekspedisi militer di Bali pada awal 1849.
Pada suatu malam, Michiels terbunuh dalam sebuah serangan laskar Bali di perkemahan militer Hindia Belanda dekat Pantai Kusamba, Klungkung. Nasibnya berakhir tragis, lima hari sebelum dia menerima kado ulang tahunnya yang ke-52.