Manusia Perahu di Derawan, Dari Mana Asal Mereka?

By , Selasa, 25 November 2014 | 15:45 WIB

Ratusan orang asing masuk ke teritorial RI, hidup, mencari makan, dan beranak-pinak di perairan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Saat ini, ada 526 orang yang diamankan, lebih dari separuh di antaranya anak-anak.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo mewanti-wanti, banyaknya pendatang asing lama-lama bisa membahayakan kedaulatan NKRI.

Kata Indroyono, Indonesia tidak boleh lagi kehilangan pulau seperti saat kehilangan Sipadan-Ligitan.

Terkait keberadaan 'manusia perahu' di Derawan, Wakil Bupati Berau, Kalimantan Timur, Ahmad Rivai, Senin (24/11) mengatakan tidak ada indikasi penguasaan pulau oleh manusia perahu ini.

Ahmad menuturkan, mereka ini adalah orang-orang yang hidupnya tidak menentu dan terdesak akibat konflik di Filipina. “Mereka juga dikejar, diburu oleh polisi Malaysia. Mereka merasa tersudut dan masuk ke wilayah kita, tinggal di Pulau Derawan,” ungkapnya kepada para wartawan, di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta.

Dia juga menyampaikan, mereka ini dikatakan 'manusia perahu' karena tinggal di perahu dan berinteraksi dengan masyarakat di darat hanya saat barter hasil tangkapan dengan bahan bakar minyak ataupun beras dan juga singkong.

Dia menengarai keberadaan 'manusia perahu' di Derawan sudah cukup lama.

Pada 2010 saja, Pemerintah Indonesia menemukan 153 orang. Ahmad bilang, mereka masuk ke wilayah Indonesia, lantaran pada saat itu Malaysia sedang gencar menggenjot pariwisata.

“Akhirnya mereka diusir. Terdesak mereka, dan hanyut masuk ke wilayah kita,” imbuh Ahmad.

Ahmad menambahkan, orang-orang ini tidak punya identitas kewarganegaraan. Meski begitu, mereka berbicara dengan Bahasa Tagalog, dan mengaku dari wilayah Samporna.

Dia mengatakan, masalah ini tidak bisa ditangani hanya oleh pemerintah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Ahmad mengaku Pemkab tidak sanggup jika turun tangan sendiri, lantaran ini adalah urusan diplomatik antarnegara.

Ahmad berharap, ketiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Filipina bisa duduk bersama menyelamatkan korban konflik ini.

“Yang jelas tidak ada [indikasi] penguasaan pulau,” tandas Ahmad.