Kisah Aku dan Harlequin dalam Batavia Hotel

By , Sabtu, 29 November 2014 | 14:57 WIB

“Sejarah kerap berulang,” ujar Maya Tamara yang bersyal kuning dan bersepatu warna senada. “Menariknya, Batavia atau Jakarta sekarang masih bergerak dan bergejolak.” Gejolak atau gelombang persoalan akan selalu hadir dalam kehidupan, namun “kita bisa memiliki semangat karena gejolak ini.”

Maya Tamara merupakan Artistic Director Namarina Youth Dance. Namarina sendiri merupakan institusi pendidikan tari, khususnya ballet dan jazz, yang bermula pada 1956 di sebuah rumah di Menteng, Jakarta Pusat.

Pada 29 dan 30 November 2014, mereka menggelar pentas balet yang kesembilan yang bertajuk “Batavia Hotel”. Para pemeran untuk pegelaran ini merupakan penari-penari kelas utama yang telah melewati audisi.

Pentas balet tersebut diadaptasi dari tema atau cerita di balik karya visual Melissa Sunjaya, seorang perancang grafis. Pagelaran balet ini menautkan simbol-simbol gerakan, pemilihan musik, dan dikemas dalam suasana hotel dengan dekorasi art-deco dan art-nouveau yang populer sekitar 1930-an.

Depresi Besar yang melanda ekonomi Amerika dan dunia telah mengilhami karya para seniman hingga ekonom besar. Berbagai temuan ilmu pengetahuan dan seni itulah yang membuat dekade 1930-an menjadi bagian sejarah yang unik, demikian ungkap Maya.

Maya mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers di Gedung Kesenian, bersama dua koreografer, Dinar Karina dan Sussi Anddri, juga Muhammad Zulfadly dari butik Tulisan yang mewakili penulis Melissa Sunjaya.

Pada gladi bersih "Batavia Hotel" yang digelar pada 28 November 2014 di Gedung Kesenian Jakarta, Namarina Youth Dance turut mengundang anak-anak yatim dari salah satu panti asuhan di Jakarta untuk memirsa pentas balet tersebut. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Sejumlah sepatu usang milik balerina Namarina Youth Dance turut dipamerkan selama pentas "Batavia Hotel", juga busana yang pernah digunakan untuk pentas. Pameran barang-barang kenangan tersebut digelar di sayap utara dan selatan Gedung Kesenian Jakarta.  (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Tokoh utama dalam kisah tersebut adalah "Aku" (yang diperankan oleh Felicia Harenya Suniastari/Truly Rizki Ananda) dan "Harlequin" (yang diperankan oleh Enrico Tanod). Aku dan Harlequin tumbuh bersama dari sebuah panti asuhan di Batavia. Namun, kelak mereka memiliki jalan hidup yang berbeda.

Harlequin, dalam pentas balet ini, sejak di panti asuhan dia sudah mempunyai keinginan menjadi bagian dari kalangan warga kota yang menghabiskan waktunya di Hotel Batavia. Pada saat itu, Hotel Batavia terkenal dengan reputasinya sebagai hotel bergengsi tempat bergaul kalangan papan atas.

Adegan "Batavia Hotel" yang memerikan suara bangsa dari bumiputera, muncul dari belakang pemirsa pagelaran balet ini. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Keceriaan anak-anak panti asuhan di Batavia dalam balet "Batavia Hotel" yang dipentaskan oleh para balerina utama Namarina Youth Dance. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Aku, salah satu tokoh utama dalam lakon "Batavia Hotel", seorang penari yang mempunyai idealisme.(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Harlequin, seorang bell boy Hotel Batavia, bertemu janda cantik dan kaya dari Belanda yang bernama Colombine. Mereka menghabiskan waktu di hotel tersebut. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Pada akhirnya, keinginan Harlequin terkabul. Dia bekerja sebagai bell boy dan mampu berbaur dengan kehidupan papan atas di hotel tersebut—dengan segala keglamorannya sebagi seorang petualang cinta.

Sementara itu tokoh Aku menjadi pekerja seni yang penuh idealisme. Dalam adaptasi untuk pementasan ini Aku diinterpretasikan sebagai penari, sedikit berbeda dengan sinopsis aslinya yang sebetulnya pemain akrobat. Dia bertanya-tanya tentang Harlequin yang telah berubah jauh.

!break!

Di Hotel Batavia, Harlequin bertemu dengan Colombine, seorang perempuan asal Belanda yang berstatus janda cantik dan kaya. Sementara, Aku kian bersedih lantaran sekadar bisa menyaksikan kisah cinta mereka.

Salah satu adegan malam budaya dalam balet "Batavia Hotel" yang berlatar belakang Gedung Balai Kota Batavia. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Kehidupan malam di Hotel Batavia, tempat Harlequin bekerja sebagai bell boy dan bergaul dengan kalangan sosialita Batavia. Harlequin selalu datang seorang diri dalam pertemuan sosialita Batavia, namun kerap pulang dengan perempuan yang berbeda-beda. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Harlequin dalam pergaulan sosialita di Hotel Batavia. Keinginannya untuk menjadi bagian kalangan papan atas di Batavia tercapai sudah. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Dalam konferensi pers tersebut, Zulfadly menambahkan bahwa tokoh seperti Harlequin tidak sepenuhnya buruk, sementara tokoh Aku juga tidak sepenuhnya baik. “Tidak mungkin kita tidak memiliki sifat Harlequin di dalam diri kita. Sementara Si Aku yang terlalu idealis memiliki topeng bahagia, namun sejatinya dia bersedih.”

“Intisarinya,” ujar  Zulfadly, “cermin masyarakat Indonesia sekarang adalah seperti itu: Masyarakat modern yang belum siap  untuk menjadi masyarakat modern.” Kemudian dia memberikan contoh, “Kita bisa membangun gedung bertingkat seratus, namun apakah bisa kita mengantre di lift?”

Maya memberikan kata penutup, “Di Namarina kita tidak belajar balet saja, tetapi kita juga memberikan pengertian tentang kerja keras dan komitmen kita terhadap bidang yang kita cintai.” Kemudian dia melanjutkan bahwa pementasan balet ini merupakan karya yang “Original, benar-benar dari nothing menjadi something!”

Aku yang digambarkan sebagai seorang seniman tari yang idealis, membawakan tarian dalam suasana sendu usai menyaksikan perubahan pada diri Harlequin, sahabat lamanya. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Salam penutup dari para balerina dalam gladi bersih "Batavia Hotel". Pentas ini digelar untuk umum pada 29-30 November 2014 di Gedung Kesenian Jakarta. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)