Di tengah maraknya degradasi lingkungan, rasa optimisme tumbuh di tengah perkampungan padat di Kelurahan Bujel, Mojoroto, Kediri, Jawa Timur.
Sejak Juni 2011, berdiri sekolah alam Hijau Daun yang menjadikan sampah limbah rumah tangga sebagai medium pembayaran iuran sekolah bagi siswanya.
Kini sekolah yang memiliki 35 siswa yang terbagi dalam empat kelas taman bermain dan taman kanak-kanak itu tidak saja menyadarkan masyarakat sekitar tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi juga membantu anak-anak warga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan layak.
Lokasi Hijau Daun berada sekitar 500 meter dari Jalan Suparjan Mangunwijaya, Kota Kediri. Sekolah itu menyatu dengan rumah sang pendiri, Endang Pertiwi (43). Di halamannya tumbuh sedikitnya 25 jenis tanaman langka, seperti mojolegi, kepel, mundu, cermai china, dan kelayu tumbuh. Ada pula ratusan tanaman obat, antara lain daruju, dewandaru, dandang gendis, dan sambang darah juga menghiasi lahan seluas 1,5 hektare tersebut.
Untuk mendukung proses belajar, pihak pengelola menyediakan sejumlah satwa, seperti burung, ayam, tupai, kura-kura, dan mamalia lain.
Di sisi kanan jalan masuk sekolah yang berada tak jauh dari sungai alternatif —yang selalu tergenang jika Brantas, sungai yang membelah Kota Kediri meluap— terdapat bank sampah penuh plastik limbah rumah tangga. Sampah tersebut dibawa oleh orangtua siswa untuk membayar iuran. Sedang di beberapa sudut tertera tulisan yang mengingatkan kepada siapa saja yang berada di tempat itu untuk selalu menjaga lingkungan.
"Meski murid-murid masih kecil, mereka sudah peka bagaimana menjaga lingkungan tetap bersih. Bagaimana membuang sampah yang benar," kata Ika Furi Handayani (24), salah satu dari lima pengajar.
Jalur pendidikan Hijau Daun berdiri karena dilandasi semangat ingin memperbaiki lingkungan. Endang menuturkan, dari waktu ke waktu banyak terjadi kerusakan alam yang perlu segera ditangani secara riil.
Ia memilih melalui jalur pendidikan dengan harapan generasi penerus bangsa ini bisa mendapatkan pemahaman sejak dini tentang menyayangi lingkungan.
"Jika dasarnya telah kokoh, ke depan mereka juga akan kuat dalam menjaga lingkungan," tuturnya.
Sebelum sekolah yang dirintis itu berdiri, masyarakat setempat masih cuek dengan sekeliling. Mereka sering membuang sampah organik dan anorganik ke sungai. Selain karena kesadaran rendah, kondisi ekonomi juga memengaruhi. Mereka yang masuk kategori keluarga berekonomi kurang mampu tidak cukup kuat untuk membayar retribusi kebersihan yang besarnya mencapai Rp 25.000 per bulan.
Dari situlah Hijau Daun kemudian berdiri dengan dua misi sekaligus, yakni menanamkan kecintaan generasi muda terhadap lingkungan dan membantu warga kurang mampu dalam menggapai pendidikan. Di sekitar sekolah Hijau Daun terdapat sejumlah warga berpenghasilan pas-pasan, seperti pembantu rumah tangga, penarik becak, dan tukang kayu.
Pada masa awal berdiri, Endang memang sempat menarik uang sekolah selama beberapa bulan. Pembayaran iuran masih memakai uang Rp 10.000 per bulan. Namun, kebijakan pembayaran ini kemudian berubah. Akhirnya berdiri Bank Sampah Hijau Daun tahun 2012. Uang pembayaran murid dipakai untuk berbagai kegiatan belajar luar ruang, termasuk makan sehat sekali dalam sepekan.