Empat rumah di Kampung Apung itu akhirnya roboh setelah tembok dan tiang-tiang penyangganya rapuh digenangi air lebih dari dua dekade. Seorang pemilik salah satu rumah saat disapa, Minggu (23/11), duduk di depan rumah tetangganya yang juga nyaris roboh.
Sebagian besar warga Kampung Apung ingat betul lokasi tempat tinggalnya itu sebelum 1990, permukaan tanah di kawasan RW 001 Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat, tersebut tertinggi dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya. Sekitar 20 tahun lalu, di bawah lokasi kampung seluas enam hektar itu ada beberapa kampung lain dan bentangan sawah. Saat banjir datang, warga kampung lain mengungsi ke Kampung Apung.
Karena tak tahan lagi setiap tahun harus mengungsi ke Kampung Apung, warga di kampung tetangga memilih menjual tanah dan rumahnya kepada para pengusaha dengan harga murah. Para pengusaha lalu menguruk tanah hingga permukaannya jauh lebih tinggi dari permukaan tanah di Kampung Apung. Di atas tanah tersebut didirikan gudang-gudang dan jadilah kawasan permukiman ini sebagai kawasan industri baru.
Saluran-saluran air pembuangan pun dibangun dengan tinggi dasar saluran melebihi permukaan tanah Kampung Apung.
Hasilnya? Seluruh air kotor dari saluran di kawasan industri, mengalir ke Kampung Apung. Jika hujan datang, Kampung Apung banjir. Bahkan, di saat kemarau pun, genangan sering mampir ke kampung ini. Kampung Apung menjadi rawa abadi.
Tidak seriusMenyiasati perubahan di kampungnya dan juga upaya untuk bertahan hidup, sebagian besar warga Kampung Apung memanfaatkan genangan menjadi peternakan lele. Jumlah kolam lele di sana mencapai 100 kolam. Hasil beternak lele ini terbukti cukup besar dan mampu menjadi penghasilan tambahan yang menjanjikan.
Namun, sejak Mei lalu, usaha yang menguntungkan itu harus dihentikan. Sebagian rawa yang juga dipakai sebagian untuk lahan pemakaman akan dikeringkan. Upaya ini bagian dari program pemerintah merevitalisasi Kampung Apung. Menurut rencana, makam akan dipindahkan ke Tegal Alur, Kalideres. Akan tetapi, pengorbanan puluhan warga sia-sia. Proyek macet. Rawa kini justru dipenuhi eceng gondok.
Warga peternak lele yang kini kehilangan mata pencariannya, seperti Usman dan Jiih, kini hanya menggantungkan hidup sebagai tukang ojek sepeda motor.
Bukan sekali ini saja Pemprov DKI gagal menyelesaikan proyek di Kampung Apung. Tahun 2011, Pemprov DKI mengucurkan dana Rp 14,75 miliar untuk membangun rumah pompa dan jaringan saluran air. Tahun lalu, dana sebesar Rp 12,5 miliar kembali dikucurkan untuk mengeruk, membersihkan, dan memperbaiki jaringan saluran. Tapi tetap saja lingkungan RW 001 ”terapung” terkepung air.
Salah satu penyebabnya adalah ketidakseriusan Pemprov DKI membangun dan memelihara jaringan saluran air. Bayangkan saja, ada jaringan saluran air di RW 001 yang dibangun lebih rendah ketimbang jaringan saluran air utama. Anehnya lagi, kedua jenis jaringan tersebut tidak terhubung.
Pembangunan jaringan saluran utama pun tidak serius dikerjakan. Saluran yang seharusnya ditutup dengan deretan tutup beton yang bisa dibuka dan ditutup kembali, ”disegel” permukaan beton. Lalu bagaimana para petugas kebersihan bisa membersihkan saluran utama tersebut?Minggu kemarin, saluran utama hanya terisi air sedalam 40 sentimeter. Selebihnya adalah endapan lumpur dan sampah. Sesepuh Kampung Apung, Djuhri, juga Ketua RW 001 Rinan dan Ketua RT 1 Rudi Suwandi, menganggap apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama ini cuma pencitraan dan bagi-bagi rezeki uang proyek bagi instansi yang terlibat.
”Sudah bosen ganti-ganti gubernur dan wali kota lalu denger janji-janji mereka lagi,” kata Rudi.