Kontak Pertama

By , Rabu, 3 Desember 2014 | 14:03 WIB

Dekat Gona, Etiopia, 11°11'54'' N, 40°31'12'' E

Kami tengah berjalan ke arah Warenzo.

Percaya, tidak? Dunia terlihat berbeda saat kita kehausan. Seolah Bumi menyusut dan kehilangan kedalamannya. Cakrawala bergeser mendekat. (Di utara Etiopia, ujung Bumi mendesak langit, keras dan pucat bak tulang tengkorak.) Padang pasir di sekeliling kami mengetat bagai jerat simpul. Beginilah cara otak yang dehidrasi memampatkan jarak di Rift, menyerap berkilo-kilometer melalui mata, memperbesarnya, dan melacak keberadaan air segar. Itulah yang terpenting saat ini.

Saya dan Ahmed Alema Hessan terseok-seok selama 32 kilometer lebih, menerjang hawa panas nan menyengat. Kami berpisah dari unta muatan karena hendak menyambangi situs arkeologis yang tersembunyi di tanah tandus: Gona, lokasi peranti batu tertua di dunia. Botol-botol air kami kosong melompong. Kami haus, merasa tidak nyaman, dan gelisah. Kami lebih banyak bungkam. (Apa yang bisa diobrolkan? Nanti lidah kami makin kering.) Terik sang surya memanggang kepala kami. Ada pepatah Afar yang berbunyi, “Jika Anda tersesat atau kehausan, sebaiknya tetaplah berjalan di bawah matahari. Dengan demikian, pada akhirnya seseorang akan menemukan Anda. Kalau Anda tergoda untuk berteduh dan jatuh di bawah satu dari sepuluh ribu semak duri di sini, Anda pasti mati: tak seorang pun akan melihat Anda. Maka kami pun tertatih-tatih di bawah langit sore yang menyilaukan—sampai suara embik kambing sayup-sayup terdengar. Kami bertukar senyum. Sekarang kami bisa bernapas lega. Di mana ada kambing, di situ ada manusia.

Yang menyambut kami ialah keluarga Afar yang berkemah di bukit. Dua perempuan muda yang kuat dan murah senyum. Delapan anak dalam balutan kain kasar tipis yang dulunya mungkin pakaian. Dan seorang wanita sepuh—ia tidak tahu berapa usianya—yang duduk membungkuk bak kurcaci di bawah keteduhan lapik alang-alang. Namanya Hasna. Sejak mulanya ia menggelosot di sana, menenun dengan gerakan selincah laba-laba. Diundangnya kami mendekat, merehatkan otot dan melepas sepatu. Dituanginya kami air hangat dan berkapur—saking asin dan alkalinya jadi seseret minyak saat meluncuri tenggorokan, namun tetap saja berharga—dari jerigen penyok. Ditawarinya kami segenggam beri kuning dari pohon liar. Ia bagaikan ibu kami.

Ketika karuhun kita meninggalkan Afrika sekitar 60.000 tahun lalu, mereka bersua dengan spesies hominid lainnya. Dunia kala itu dihuni sepupu-sepupu asing: Homo neanderthalensis, Homo denisovans, Homo floresiensis, dan mungkin beragam jenis manusia lainnya yang bukan benar-benar manusia.

Seperti apa cara hidup mereka? Bagaimana mereka menyayangi? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini masih sebuah misteri.

Seumpama kita menjumpai mereka, mungkin seperti ini, di suatu puncak bukit terpencil, akankah kita berbagi air atau bahkan kawin silang dalam damai, seperti dugaan beberapa ahli genetika? (Populasi manusia modern di luar Afrika mengandung 2 persen DNA Neanderthal.) Atau apakah kita memerkosa dan membunuh, melancarkan aksi genosida yang panjang dan sadis ala spesies kita? (Dalam suatu gua yang dihuni manusia modern, Fernando Rozzi dari Centre National de la Recherche Scientifique, Paris, menemukan tulang rahang seorang Neanderthal yang dimutilasi dengan kejam, kemungkinan untuk  dikanibal.) Ilmuwan masih memperdebatkan teka-teki ini. Yang pasti, kitalah satu-satunya spesies penyintas yang mengklaim Bumi. Kita memenangi planet ini. Namun, toh, ada harga yang harus dibayar: Kita tak punya lagi kerabat dekat. Kita menjadi primata yang kesepian.

Suara lembut Hasna melenakan saya ke alam mimpi.

Ketika saya terjaga, Alema berjongkok bersama para lelaki dari kemah pengembara, mengobrol dengan suara rendah. Mereka barusan pulang dari mengangon ternak. Kami menyalami mereka dan mengucapkan terima kasih. Hasna, yang tersenyum lebar, kami hadiahi berbungkus-bungkus biskuit gurih, lalu kami melanjutkan perjalanan. Kami berlekas menemui rombongan unta, berjalan ke arah Warenzo. Malam itu, sembari menyesap oleh-oleh air asin di dekat nyala api kemerahan yang ditampar-tampar angin, Alema mengaku bahwa para lelaki di kemah Hasna sebetulnya bersikap mengancam. Ia bukan bagian dari klan mereka. Hampir saja digetoknya kepala mereka dengan tongkat jalannya.