Kisah Suram Kakatua Sumba

By , Kamis, 4 Desember 2014 | 15:30 WIB

Titus memandang ke ufuk timur. Menatap langsung matahari yang berpendar terang, Titus menyipitkan matanya. Tangan kanannya melintang di dahi, menapis sinar matahari.

Hari masih pagi di padang rumput Lokuhuma, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kabut mengambang di lembah-lembah bukit. Embun membasahi rerumputan.

Tapi bagi burung-burung, hari sudah terlalu terang. “Kita terlalu siang. Kakatua mungkin sudah pergi,” jelas Bobby Darmawan, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. 

Kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) tak lagi terdengar suaranya. Burung paruh bengkok berwarna putih dengan jambul jingga itu telah melalang buana. Titus masih mencari-cari kakatua sumba. 

Kami berdiri di punggung bukit sehingga bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Pada kerumunan blok hutan di lembah bukit di sisi timur, kakatua jambul jingga menghabiskan malam. Sunyi senyap.

“Itu masih ada kakatuanya. Bertengger, lima ekor,” tutur Titus. Matanya begitu awas. Lima kakatua tersebut bertengger diam di cabang pohon marra (Trameles nudiflora). Bobby menuturkan pohon ini kesukaan kakatua jambul jingga. 

“Pohonnya besar, menjulang dan kayunya tidak terlalu keras,” terangnya, “cocok untuk bersarang di lubang pohon.” 

Pagi itu, telinga Bobby yang peka bisa mengenali berbagai jenis burung. Seekor burung yang terbang melintas cepat, sembari bersiul seperti peluit panjang. “Itu Nuri pipi merah.” Hanya suara; sementara nuri pipi merah itu segera tenggelam dalam tetajukan pohon. Bobby menuturkan bahwa di padang rumput juga ada paok la’us (Pitta elegans). “Tadi ada suaranya,” ujarnya. 

!break!

Lokuhuma hanya salah satu tempat pengamatan burung di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Tak jauh dari situs ini, tepat di jalan raya antara Waikabubak – Waingapu terdapat Langgaliru.

Lokasi ini berada di tepi jalan raya, dan kerap disebut kilometer 68-72. “Di tepi jalan biasa dilakukan pengamatan burung.” Dengan menyelisik tajuk hutan yang lebat, pengamat sering mencari-cari aneka burung di Langgaliru.  

Bobby mengisahkan, pengamat burung asing kerap mengunjungi taman nasional. Di Lokuhuma, para pecinta burung liar mengamati kakatua jambul jingga. “Setelah ketemu, ya pergi.”

Pada era 1970-1980, kakatua subspesies Sumba ini masih banyak dijumpai. “Dulu dianggap sebagai hama tanaman jagung oleh masyarakat,” imbuh lelaki berambut abu-abu ini.

 

Kuda-kuda sumba merumput di Lokuhuma Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Sumba, Nusa Tenggara Timur. (Agus Prijono)

Sekarang jumlah kakatua sumba telah menyusut. Lembaga persatuan konservasi alam dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan status kritis terancam punah bagi kakatua sumba. Sementara konvensi dunia CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). memasukkan kakatua ini dalam daftar apendiks I. Artinya, kakatua sumba hasil tangkapan di alam dilarang diperjual-belikan.

Bentang alam Lokuhuma berupa bukit-bukit padang rumput dengan bercak-bercak hutan di lembah dan puncak bukit. Blok-blok vegetasi inilah yang memudahkan pengamatan burung. Hanya dengan duduk dan menunggu di puncak bukit, burung-burung bisa dilihat dengan mudah.  

Pada saat kemarau, kebakaran sering melalap padang rumput. Saat itulah burung-burung elang terbang di angkasa mencari mangsa. “Kalau kebakaran, elang mudah dilihat. Mungkin karena rumputnya habis, elang mudah mencari mangsa,” ungkap Bobby.

Bahkan hari itu, beberapa elang mengapung di angkasa. Meliuk-liuk.