Sejarah panjang tambang batubara, yang muncul sejak abad ke-17 dan terhenti pada akhir abad ke-20, telah meletakkan keberagaman budaya di Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Kota ini menjadi tempat tinggal dan milik bersama berbagai etnis seperti Minangkabau, Jawa, Batak, Tionghoa, Sunda, dan lainnya.
Alih-alih memicu kerenggangan, keberagaman itu justru menjadi modal melahirkan keharmonisan pada setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Satu di antaranya adalah tradisi Makan Bajamba atau makan besar secara bersama-sama yang digelar setiap 1 Desember.
Jam menunjukkan pukul 08.00 ketika warga Sawahlunto, laki-laki maupun perempuan, tua muda, mulai berdatangan ke Lapangan Segitiga, Senin (1/12). Pagi yang cerah itu semakin berwarna karena warga datang dengan berbagai busana. Ada yang mengenakan pakaian adat, berbatik, seragam kantor, atau seragam sekolah. Semuanya tumpah ruah di lapangan yang menjadi salah satu ruang terbuka di Kota Sawahlunto itu.
Pada saat yang sama, para perempuan terlihat membawa jamba atau nampan berisi berbagai jenis makanan yang dijunjung di atas kepala masing-masing. Begitu tiba, jamba itu diletakkan di atas tikar atau karpet yang digelar di bawah tenda yang didirikan menutupi hampir semua sisi taman. Setelah itu, ada yang langsung menghidangkan makanan-makanan itu dengan piring di atas karpet, tetapi ada juga yang tetap membiarkannya di atas jamba.
Ada juga warga Minangkabau ikut menyantap makanan Jawa, begitu sebaliknya.
Makanan yang dibawa sesuai dengan makanan tradisional dari etnis masing-masing. Di warga etnis Minangkabau misalnya, terlihat makanan tradisional seperti rendang, gulai, dan lainnya. Sementara warga dari etnis Jawa terlihat menyiapkan tumpengan, jajan pasar, ingkung (ayam yang diolah dengan santan dan bumbu khas), dan semur tahu. Adapun warga etnis Sunda menghidangkan nasi timbel, sambel terasi dan lalapan, pais tahu, gemblong, tempe tahu bacam, dan rujakan.
Bersama warga lainnya, para perempuan tersebut kemudian duduk berlesehan melingkari jamba atau makanan itu.
Agar tetap teratur, panitia menandai masing-masing petak tenda sesuai asal mereka karena acara itu tidak hanya dihadiri sepuluh nagari dari empat kecamatan, tetapi juga seluruh etnis yang ada, satuan kerja perangkat daerah (SKPD), sekolah, lembaga, dan beberapa perusahaan swasta di Sawahlunto. Perantau yang pulang kampung dan wisatawan asing juga terlihat berbaur dalam acara itu.
Makan Bajamba didahului dengan pengantar dari para ninik mamak (pemuka adat) dan penghulu suku, serta Wali Kota Sawahlunto Ali Yusuf. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Irman Gusman, yang hadir juga ikut memberikan sambutan.
Setelah doa, Makan Bajamba dimulai di mana warga bersama-sama menyantap berbagai makanan yang telah dihidangkan. Karena sifatnya terbuka, ada juga warga Minangkabau ikut menyantap makanan Jawa, begitupun sebaliknya.!break!
Multikultur yang mendarah daging
Hari itu, 1 Desember 2014, ribuan warga berkumpul di Lapangan Segitiga untuk merayakan ulang tahun ke-126 Sawahlunto. Sebuah kota yang tercatat dalam sejarah pernah berjaya karena tambang batubara sejak tahun 1888, kemudian dibuat tak berdaya karena habisnya 'penopang kehidupan' tersebut di tahun 1998. Meski sulit, upaya membangun kembali kota yang berada sekitar 90 kilometer dari Padang (ibu kota Sumatra Barat) itu bisa berwujud.
Hal itu tidak terlepas dari keberhasilan menata sisa kejayaan tambang yang dipadukan dengan keberagaman budaya. Warga dari etnis Minangkabau, Jawa, Batak, Tionghoa, Sunda, dan lainya bersatu padu memulai kehidupan baru di Sawahlunto.
Kebersamaan itu yang terus dipertahankan dalam semua aspek kehidupan mereka, termasuk acara Makan Bajamba yang sejatinya adalah tradisi masyarakat Minangkabau.
”Yang tinggal di Sawalunto dari berbagai etnis. Oleh karena itu, tidak memungkinkan untuk mengangkat satu etnis saja. Kalau satu etnis naik, maka semuanya juga naik. Seperti Makan Bajamba ini. Pemiliknya orang Minang, tapi Jawa dan Sunda tetap dibawa. Semua sama, tidak ada yang menonjol,” kata Purwoko, Ketua Paguyuban Adikarsa Raharja atau Paguyuban etnis Jawa di Sawahlunto.
Menurut Purwoko, tidak ada formula khusus yang membuat kebersamaan antara berbagai entnis itu muncul. Kebersamaan itu terjadi dengan sendirinya dari pendahulu etnis mereka saat didatangkan Belanda ke Sawahlunto untuk menjadi petambang batubara.
Istilah ”Dhulur Tunggal Sekapal” atau saudara satu kapal membuat merasa senasib sepenanggungan. ”Hal itu terjaga hingga saat ini. Multikultur sudah mendarah daging bagi kami,” ujar Purwoko.
Suasana itu pada akhirnya tidak saja terjadi saat Makan Bajamba saja, tetapi juga muncul pada berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dengan tetap mempertahakan identitas masing-masing, semua etnis terbuka untuk mempelajari seni budaya etnis lain.
Tidak mengherankan jika pada kesempatan lain di Sawahlunto, kita melihat makanan Minang seperti rendang yang terasa khas karena dibuat oleh orang Jawa, pertunjukan wayang kulit berbahasa Minangkabau, atau orang Minangkabau bermain karawitan atau kecapi.
”Semua terbuka dan tidak ada batasan. Siapa pun dari etnis manapun di Sawahlunto boleh belajar kesenian Sunda seperti kecapi atau angklung,” kata Ketua Paguyuban Sunda Jawa Barat Edi Junaidi.
Enggo Daus, tokoh adat yang juga Wakil Ketua Kerapata Adat Nagari Kolok, Kecamatan Barangin, Sawahlunto, mengatakan kondisi harmonis tetap terjaga karena mereka berusaha untuk tetap saling menghargai. Menurut Enggo, hanya dengan itu, hidup dengan etnis yang berbeda akan tetap sejalan dan berdampingan.
”Kalau di Sawahlunto warga etnis Jawa main kuda lumping, kita sangat mendukung. Bahkan kalau bisa ikut bermain,” kata Enggo.
!break!Membangun kesadaran
Menurut Wali Kota Sawahlunto Ali Yusuf, suasana yang terbangun di Sawahlunto merupakan wujud dari kerja sama antara pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat Sawahlunto.
Irman Gusman menambahkan, Indonesia saat ini menghadapi kondisi di mana terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat kepada pemimpinnya. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Sawahlunto di mana berbagai etnis membangun kesadaran kolektif demi kemajuan bersama merupakan contoh nyata yang harus ditiru.
”Antusiasme dan dukungan luar biasa ini menjadi contoh bagaimana seharusnya kebersamaan antara pemimpin dan rakyatnya dibangun. Hal itu penting mengingat saat ini terjadi krisis kepercayaan satu sama lain,” kata Irman.
Baca pula isu pilihan NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA bulan ini: Bagaimana Makanan Mempersatukan Kita?