Baluran, Taman Nasional Pertama Indonesia

By , Kamis, 11 Desember 2014 | 16:15 WIB

Padang Bekol, Taman Nasional Baluran sore itu, monyet ekor panjang berarak bergerak dari hutan musim ke padang rumput Bekol. Rombongan primata bernama ilmiah Macaca fascicularis itu menyusuri pinggir jalan berbatu. Satwa liar yang lain menyingkir.

Berumur 34 tahun, taman nasional seluas 25.000 hektare ini tak lekang menyajikan kehidupan liar yang gampang diamati.

Baluran adalah salah satu taman nasional pertama di Indonesia yang didirikan pada 6 Maret 1980 di Indonesia bersama Gunung Leuser, Sumatra Utara; Ujung Kulon, Banten; Komodo, Nusa Tenggara Timur; dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.

Deklarasi ini bersamaan dengan peluncuran naskah ‘World Conservation Strategy’ di 30 negara, yang salah satunya di Indonesia. Dua tahun kemudian, kala World National Park Conggres III pada 1982 di Bali, Indonesia kembali meresmikan 11 kawasan suaka alam sebagai calon taman nasional baru, menyusul lima taman nasional pertama tersebut.

“Indonesia adalah negara sedang berkembang pertama yang menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional,” kenang Effendy A Sumardja. Sejak 1977, Effendy berkiprah di International Union for Conservation of Nature (IUCN), serikat internasional bagi konservasi alam.

!break!

Pada dekade 1970 taman nasional tengah menjadi tren global, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Arah global ini seiring dengan niat Indonesia melakukan pembangunan berkelanjutan.

“Seluruh negara yang memiliki taman nasional mengikuti kriteria IUCN,” jelas Effendy, kini Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia, “meski setiap negara punya konsep yang berbeda-beda; kalau diitung-itung, konsepnya bisa seratus lebih.”

Effendy menyadari bahwa Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dalam pengelolaan taman nasional. “Kita berbeda dengan negara-negara maju. Ada aspek sosial dan manusia di taman nasional,” jelasnya kepada saya.

Doni dan para betina dewasa bernama Tina dan Usi melahap rumput yang ada di penangkaran banteng jawa (Bos javanicus) di Taman Nasional Baluran. Di kandang semi-alami seluas 0,8 hektare inilah salah satu harapan untuk mengembalikan populasi banteng jawa digantungkan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Kongres Bali memberi kesempatan bagi Indonesia menyumbangkan gagasan ihwal pentingnya aspek sosial. Melalui debat berjam-jam, Effendy menuturkan, IUCN akhirnya menerima aspek sosial. “Kita tidak bisa mengikuti negara-negara maju, taman nasional kosong tanpa manusia.”

Perbedaan itu tecermin dalam pembagian zona-zona taman nasional. Ada zona inti, ada zona rimba, ada zona pemanfaatan, ada zona rehabilitasi. “Untuk memenuhi aspek sosial, ada zona pemanfaatan tradisional,” lanjut pria berambut putih ini. Di zona itu masyarakat sekitar taman bisa memungut hasil hutan bukan kayu.

Baluran diteguhkan menjadi taman nasional karena alamnya. “Dari menara pengamatan Bekol, padang rumput terlihat luas, dengan kumpulan banteng 30 sampai 50 ekor. Cocok bagi Indonesia untuk ditawarkan ke dunia internasional: padang rumput di kawasan hutan tropis,” tutur Effendy mengenang kunjungannya ke Baluran.

Sebagai sesuatu yang baru, publik menyambut baik munculnya lima taman nasional tersebut. 

Bersafari di Bekol (Yunaidi/NGI)