Sosok bulat telur berwarna putih cemerlang dengan pendaran hijau melesat bersama ekornya yang panjang. Pendaran cahaya itu berlipat kali lebih besar dan lebih terang dari kerlip bintang, atau kedip lampu pesawat terbang.
Dia menukik di tabir cakrawala timur, hanya selama dua-tiga detik, lalu lenyap begitu saja bak tenggelam di kegelapan malam. Seketika saya terjelengar dan takjub.
Langit Jakarta dan sekitarnya sungguh cerah berserak gemintang pada Minggu malam, 14 Desember. Saya sengaja menanti kemunculan sosok cahaya berekor itu dari sehamparan tempat lapang di sudut Tangerang Selatan, pada pukul 22.31 WIB.
Fenomena ini merupakan bagian dari derasnya hujan meteor Geminids yang menerjang atmosfer Bumi sekitar 4 hingga 17 Desember 2014. Dan, 14 Desember merupakan puncaknya.
Geminids merupakan hujan meteor yang terjadi karena orbit Bumi melewati serpihan asteroid 3200 Phaethon. Kecepatannya meteor itu mencapai 35 kilometer perdetik. Peristiwa akhir tahunan ini baru terungkap pada 1862.
Dalam satu jam saja, Bumi bisa dihujani hingga seratusan meteor yang menjadikannya pertunjukan teragung jelang tutup tahun.
Dalam tabir peta langit, lokasinya di sekitar rasi bintang Gemini yang terdiri atas 48 bintang yang membentuk sosok manusia kembar yang ditemukan oleh Ptolomaeus pada abad ke-2. Gemini terbit sekitar pukul 21.00 dan bergerak ke arah barat seiring mendekatnya pagi hari—saya pun dalam pengamatan ini merasa terberkahi lantaran berzodiak Gemini!
Dalam satu jam saja, Bumi bisa dihujani hingga seratusan meteor yang menjadikannya pertunjukan teragung jelang tutup tahun. Biasanya meteor akan habis terbakar sebelum sampai Bumi. Hanya sebagian kasus saja yang mencapai permukaan Bumi—disebut meteorit—atau menimbulkan bencana besar seperti di Rusia pada awal 2013.
Peristiwa alam semesta ini bisa disaksikan dengan mata telanjang sehingga menyatukan warga seantero jagad. Seorang perempuan muda asal Okinawa yang kini tinggal di Kyoto, Jepang, mengungkapkan ketakjuban kala menyaksikan hujan meteor tersebut dalam akun twitternya @Ikumizura. Dia menyaksikan hujan meteor ini selama tiga jam, dari pukul sebelas hingga satu malam waktu setempat.
“Ini adalah pertama kali buat saya! Salah satu hujan meteor paling cemerlang, itulah mengapa saya begitu heboh.” Beberapa saat berselang, kemudian dia melanjutkan, “Saya sudah menyaksikannya... Kini benar-benar mengantuk. Namun, 10 bintang beralih untuk 10 harapan adalah lebih dari apa yang saya perkirakan.”
“Yupp warnanya kehijauan,” ungkapnya menanggapi kicauan saya tentang hasil pengamatan di Tangeran Selatan. “Meskipun cukup bikin pegal leher, itu hal yang sungguh mengesankan!”
“Ini adalah pertama kali buat saya! Salah satu hujan meteor paling cemerlang, itulah mengapa saya begitu heboh.”
Anggapan bahwa sebagian unsur yang menyusun tubuh kita berasal dari gugusan bintang di alam semesta itu barangkali benar adanya. Hampir seluruh warga Bumi pun mewarisi pesan leluhur mereka: Jika melihat bintang beralih segeralah sampaikan keinginan atau cita-cita, kelak semuanya akan terkabul!
Malam itu ketika semua orang tidur lelap dalam senyap, Bumi melaju menembus bongkahan batu-batu luar angkasa. Lapisan atmosfer telah melindungi kehidupan di Bumi dari serangan meteor sehingga semua orang tetap tidur nyenyak. Setiap pertunjukan selalu memberikan pesan kepada pemirsanya. Dan, malam itu Sang Dalang menyadarkan betapa kecil dan tak berartinya kita dalam kerumitan jagad raya ini.
Saya pun terharu akan pesan Albert Einstein, “Apa yang saya saksikan di alam adalah sebuah tatanan agung yang tidak dapat kita pahami seluruhnya, dan hal itu sudah sepantasnya membuat orang senantiasa rendah hati.”