Nenek Moyang Kita Seorang Pluralis

By , Rabu, 17 Desember 2014 | 12:00 WIB

“Agama Hindu dan Buddha di Indonesia berbeda dengan Hindu dan Buddha di India. Ini kreativitas orang Nusantara dalam memahami dan menyerap agama,” ungkap Ahmad Salehudin. Kemudian dia memberikan contoh lain, “Islam demikian juga, aneh kalau orang Indonesia seperti orang Arab yang berjubah.”

Ahmad  mengungkapkan hal tersebut dalam Lokakarya World Royal Heritage Festival . Acara tersebut digelar oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Forum Silaturrahmi Keraton Nusantara pada 13 Desember 2014. Dia merupakan Kepala Peneliti Budaya Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. pengajar Antropologi Agama, dan Wakil Kepala Inclusive and Sustainable Development Institute di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 

Leluhur bangsa Indonesia, menurutnya, telah memberikan teladan kearifan kala menyerap budaya dan agama, juga keteladanan dalam menyikapi kemajemukan.  “Kalau dipaksakan [bergaya mengikuti budaya lain] hilanglah keragaman kita,” ujarnya. “Agama itu tergantung bagaimana kita menafsirkan.”

“Kita sejak awal adalah bangsa pluralis,” Ahmad berkata. Dia mencontohkan Candi Plaosan, yang berada tak jauh dari Candi Prambanan di Jawa Tengah, merupakan “Candi Buddha rasa Hindu.”

Candi Plaosan Lor di Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Candi Buddha dalam rasa Hindu, bukti kemajemukan budaya yang merupakan teladan nenek moyang. (Gunawan Kartapranata/Wikipedia)
!break!

Prasasti Sri Kahulunan bertahun 764 Saka (atau 842 Masehi) telah menerakan bahwa Ratu Sri Kahulunan telah membangun Candi Plaosan Lor. Pembangunan tempat suci tersebut mendapat sokongan dari sang suami, Rakai Pikatan. Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani, putri Raja Samarattungga dari Wangsa Sailendra. Mengapa candi Buddha ini bergaya ala candi Hindu?  Tampaknya jawaban ada pada sang pembangun: Sri Kahulunan, yang memeluk agama Buddha, menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang memeluk agama Hindu.

Bahkan, menurutnya, ada satu fakta yang jarang diungkap, bahwa agama yang berkembang di Kerajaan Majapahit adalah Siwa Buddhisme, perpaduan antara siwaisme (Hindu) dengan buddhisme.

Tampaknya kemajemukan di Indonesia merupakan harmonisasi yang luar biasa—dan seharusnya memang demikian. “Kalau ada faham-faham yang ingin menghancurkan keharmonisan itu,” demikian kata Ahmad, “seharusnya kita tidak setuju!”

Ahmad memaparkan, betapa para leluhur bangsa Indonesia sangat menghargai keberadaan agama-agama lain. Mereka memberi ruang kepada semua agama untuk hidup dan berkembang, memfasilitasi agar setiap agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. "Bagi saya, mustahil seorang penguasa memfasilitasi agama lain untuk menjalankan ibadah jika menganggap agama lain tidak benar."

“Keraton bukan simbol feodalisme,” ujarnya. “Keraton adalah simbol dari tapak peradaban. Adanya Indonesia merupakan keberlanjutan dari kerajaan-kerajaan.”

Leluhur kita juga telah mewariskan semangat toleransi dan penghormatan luar biasa terhadap tradisi agama lain, ungkapnya. Demi menghormati tradisi hinduisme yang berpantang terhadap sapi, Sunan Kudus "melarang" umat Islam di Kudus untuk menyantap hidangan daging sapi. Sebagai gantinya mereka menyantap daging kerbau. "Makanya di Kudus kita tidak menemukan soto sapi, tapi soto kerbau."

Ahmad menambahkan sejatinya nilai-nilai keteladanan leluhur itu telah diajarkan lintas generasi, namun masyarakat tidak pernah tahu dari mana sumbernya.  Dia mengatakan bahwa keraton-keraton Nusantara itulah yang merupakan sumber tapak sejarah perjalanan hidup bangsa. Keraton tidak semata-mata sebuah sistem pemerintahan  yang hidup pada masa dan wilayah tertentu, demikian ungkapnya, melainkan juga manifestasi dari multi nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya.

!break!

Kendati demikian, dia menyesalkan orang-orang yang berpendapat bahwa membangkitkan kearifan budaya keraton identik dengan membangkitkan feodalisme. Ada juga pemerintah daerah yang khawatir terhadap kebangkitan keraton yang akan mengurangi kekuasaan pemerintah, dia berpendapat.  “Keraton bukan simbol feodalisme,” ujarnya. “Keraton adalah simbol dari tapak peradaban. Adanya Indonesia merupakan keberlanjutan dari kerajaan-kerajaan.”

Tiga orang perempuan tengah berlatih tari di Pura Mangkunagaran, Surakarta, Jawa Tengah. (Riza Nugraha/Wikipedia)

Perihal pemerintah daerah yang merasa terancam, dia merasa itu pendapat yang berlebihan. Bahwa membangkitkan kearifan budaya keraton bukan berarti serta merta akan membangkitkan kembali kekuasaan keraton, demikian hematnya. Kekuasaan keraton pada masa silam tak bisa dibangkitkan kembali karena kini sistem sosial, ekonomi, dan budaya sudah berbeda. “Upaya membangkitkan budaya keraton bukan membangkitkan feodalisme. Ini membangkitkan budaya atau revitalisasi budaya yang lenyap karena penjajahan.”

“Kita lupa mengembangkan budaya lokal. Sekarang, Presiden mengajak kita untuk memangku lautan, bukan memunggungi lautan.”

Salah satu kearifan keraton adalah membangun pertalian dengan lingkungan alamnya. Lewat kesadaran kosmologi ini keraton melahirkan kesadaran membangun teknologi berdasar alam sekitar—kekuatan darat atau kekuatan maritim. Kerajaan Sriwijaya membangun kejayaannya dengan memanfaatkan potensi geografi dan alam lewat kekuatan maritimnya. Tragis, demikian ungkap Ahmad, apabila kejayaan budaya bahari pada masa silam, kini menjadi budaya daratan. “Kita lupa mengembangkan budaya lokal. Sekarang, Presiden mengajak kita untuk memangku lautan, bukan memunggungi lautan.”  

Para prajurit Keraton Yogyakarta, dari berbagai kesatuan wilayah, bersiap melakukan upacara Grebeg Syawal yang digelar pada 1 Syawal setiap tahunnya, menandai berakhirnya bulan Ramadhan (kalender Hijriyah) atau Pasa (kalender Jawa). Tampak sisi kanan, Prajurit Wirabraja, dikenal juga dengan julukan 'Lombok Abang' atau cabai merah lantaran berseragam warna merah dan topi runcing warna senada. (Mahandis Y. Thamrin)

“Keraton ibarat taman permadani, simbol lokalitas yang dianyam dan dirajut menjadi permadani yang indah,” ungkap Ahmad. “Jadi, dengan melihat keraton, kita dapat melihat dan memahami semua hal dari sejarah perkembangan peradaban manusia.”