Pemerintah Harus Terus Tingkatkan Kualitas Mitigasi Bencana

By , Sabtu, 20 Desember 2014 | 22:30 WIB

Pemerintah harus terus meningkatkan kualitas mitigasi bencana masyarakat di Aceh. Hal ini sebagai upaya integrasi mitigasi bencana dengan budaya masyarakat di Aceh.

Hal ini mengemuka saat diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Kebencanaan dan Tsunami Aceh (Tsunami and Disaster Management Research Centre/TDMRC) yang berlangsung di Banda Aceh, Sabtu (20/12).

Program Manager TDMRC Ella Meilianda mengatakan, pasca tsunami ada banyak pembelajaran yang kini memberi perubahan dalam kehidupan di Aceh. "Misalnya, sekarang ini kita sudah mempunyai perangkat sistem pengurangan risiko bencana dengan terbentuknya banyak lembaga, yang bekerja memberikan sosialisasi pemahaman pengurangan risiko bencana kepada masyarakat," ujar Ella, Sabtu (20/12).

Fauzi Husaini, Kepala Divisi Penanggulangan Bencana Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh menceritakan proses evakuasi korban bencana tsunami 2004 dengan latar ratusan tanda pengenal korban yang disimpan di Markas PMI Aceh. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Tetapi, sebut Ella, ada juga beberapa pekerjaan rumah terkait dengan integrasi mitigasi bencana dengan nilai kultur masyarakat. "Pertama, pastinya tentang kesiapsiagaan itu sendiri, dan berikutnya bagaimana masyarakat memiliki kultur waspada dan siap siaga bencana dan yang ketiga adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas secara pribadi untuk menghadapi bencana," katanya.

Selain itu, lanjutnya, nilai-nilai keagamaan juga perlu disandingkan dengan program risiko bencana. Selama ini pendidikan kebencanaan bersinergi dengan pendidikan agama namun belum terintegrasi. "Ini harus diterapkan karena masyarakat aceh memang diketahui sebagai masyarakat yang memiliki kehidupan religius yang kuat," jelasnya.

Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) memeriksa bibit mangrove yang ditanam di Krueng Sayeung, Calang. Sebelum bencana tsunami tahun 2004, tempat penanaman bibit mangrove ini merupakan sungai berair jernih yang didiami banyak hewan air. Pasca tsunami, Krueng Sayeung berubah menjadi rawa. Juga belakangan limbah merkuri yang berasal dari tambang emas ilegal di hulu sungai menambah permasalahan di Krueng Sayeung. Ikan, kepiting, dan udang sungai mati akibat pencemaran merkuri. Masyarakat bersama Palang Merah Indonesia berinisiatif menanam 28.000 bibit mangrove untuk meminimalkan pencemaran dan abrasi laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Sementara itu, Guru Besar Kobe University, Yasuo Tanaka mengatakan, saat ini Aceh telah memiliki fasilitas publik dan infrastruktur pengenalan mitigasi bencana untuk masyarakat.

"Setiap informasi terkait kebencanaan harus terus disampaikan kepada masyarakat. Apakah melalui lembaga pendidikan ataupun lembaga kemasyarakatan lainnya. Karena ini penting bagi masyarakat agar siaga bencana dan mewariskan pengetahuan kebencanaan untuk anak cucu mereka," ujar Tanaka.