Bencana tsunami sepuluh tahun lalu yang meluluhlantahkan sebagian besar daratan Aceh menyisakan kenangan pilu. Tak hanya menorehkan luka mendalam bagi warga Aceh dan bangsa Indonesia, tapi juga mengguncangkan jiwa kemanusiaan warga dunia yang merekam potret indah sebuah solidaritas global.
Dalam rangka memperigati sepuluh tahun Tsunami Aceh, sebuah organisasi non-profit SOS Children’s Villages yang memperjuangkan hak dasar anak, mengadakan acara bertajuk “Sinergi untuk Aceh” di Goethe Institut, Menteng, Jakarta, Minggu 21 Desember 2014.
Acara ini merupakan puncak kampanye sepuluh tahun tsunami “Tsunami Survivor: Duka Hanyut Berganti Asa” yang digagas oleh SOS Children’s Villages Indonesia sejak 24 Oktober 2014.
SOS Children’s Villages yang sudah berdiri 60 tahun lebih, ikut mengambil bagian terhadap tsunami Aceh. Di mana tepat tiga hari pasca bencana tsunami tahun 2004 SOS Children’s Villages telah berada di Aceh.
Mistahul Jannah adalah tsunami survivor dan saat itu usianya masih 8 tahun. Mis panggilan akrabnya, menceritakan sedikit kisah ketika tsunami yang melanda kampung halamannya.
“Saat itu saya di rumah bersama keluarga dan tiba-tiba gempa. Tidak lama dari gempa, abah yang pulang sehabis dari laut menyuruh lari ke tempat yang tinggi,” ujar Mis. “Saya tidak sempat naik ke bukit, bahkan saya ikut terbawa arus. Tapi tidak tahu bagaimana saya bisa selamat dan naik di atas genteng rumah yang sudah rubuh.”
Kondisi tenda pengungsian yang menyedihkan mendorong para staf SOS Children’s Villages dan relawan membangun kawasan yang ditujukan sebagai pusat kegiatan anak-anak. SOS Children’s Villages telah mendistribusikan bantuan keperluan sehari-hari untuk para pengungsi dan membangun 521 rumah permanen tipe 45 untuk para korban yang rumahnya rata oleh tsunami.
National Director SOS Children’s Villages Indonesia, Gregor Hadi Nitihardjo mengatakan bahwa SOS Children’s Villages adalah sebuah lembaga yang memberikan keluarga untuk anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya. “Kita meyakini setiap anak, bagaimana pun kondisinya mereka harus mempunyai keluarga, orang tua yang menyanyangi dan membesarkan serta hadir setiap saat dalam proses pertumbuhannya,” ujar Hadi.
Sedikitnya, ratusan rumah yang telah dibangun oleh SOS Children’s Villages Indonesia tentu membutuhkan dana yang cukup besar. Hadi mengatakan dana yang didapatkan tentu dari donatur baik perusahaan maupun individu, dan juga pemerintah.
Peran seorang ibu dalam program memberikan keluarga untuk anak-anak tentu sangat diperlukan. Salah satu ibu asuh SOS Children’s Village, Ibu Nuraini terpanggil untuk melakukan hal yang mulia itu. “Awalnya saya mendengar informasi di radio kalau dibutuhkan ibu asuh, dan di situ saya tertarik.”
Sampai sekarang Ibu Nur telah menjadi ibu asuh selama 9 tahun dan mempunyai 11 anak asuh.
Saat ini sekitar 2.500-an anak yang sudah dan pernah dibesarkan oleh SOS Children’s Villages Indonesia.
Selain itu menurut data Departemen Sosial dari UNICEF, sebanyak 4 juta lebih anak Indonesia mengalami ketelantaran dan 17 juta anak di Indonesia beresiko mengalaminya. Hal itu karena berbagai alasan seperti ditinggal orang tua, kehilangan orang tua, orang tua yang menjadi TKI, dan kehidupan bebas yang melahirkan anak-anak di luar nikah.