Kisah Usahawan Aceh yang Bangkit Setelah Bencana Satu Dekade Silam

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 11:08 WIB

Di sebuah bangunan seluas 1.000-an meter persegi, Nelly Nurila mengelola usaha pabrik roti Nusa Indah dengan bantuan 70 orang pegawai.

Nelly adalah salah seorang pengusaha kecil yang berhasil bangkit kembali setelah tsunami menghancurkan usahanya 10 tahun silam.

“Satu-satunya barang yang selamat adalah mixer besi pengaduk adonan dan itu pun nyaris saya jual untuk kebutuhan hidup,” kata Nelly kepada Pinta Karana di pabrik rotinya.

Namun ia membatalkan niat itu atas saran suaminya yang yakin bahwa mixer tersebut bisa menjadi bukti untuk mendapat bantuan usaha dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak datang ke Aceh.

“Omongan suami terbukti waktu ada tim dari Bogasari yang ingin membantu usaha usaha roti dan kue, saya tunjukkan mixer itu dan mereka memasukkan saya ke dalam program,” kata Nelly.

Dampak bantuan

Ia juga mendapat bantuan dari sejumlah LSM lain seperti Terre des Hommes dan CARE. Perlahan, Nelly pun mengumpulkan modal untuk membeli alat-alat yang dibutuhkan seperti oven dan Loyang.

“Tahun 2007, saya akhirnya bisa mengumpulkan uang untuk membeli tanah 400 meter dan bangun pabrik kecil dengan enam pegawai,” katanya lagi. Enam pegawai itu kini telah bertambah menjadi 70 orang dan memproduksi 60.000 potong roti setiap harinya.

Namun kisah Nelly tidak serta merta dialami oleh pelaku usaha kecil lainnya. Sebut saja Bakhtiar, seorang penjahit yang kehilangan mata pencahariannya.

“Saya tidak pernah mendapatkan bantuan apa pun,” kata Bakhtiar yang membuka kios jahit di Kabupaten Aceh Besar dengan pendapatan Rp70.000/ per hari.

Dampak bantuan rehabilitasi pascatsunami yang kebanyakan berupa uang tunai dan penyediaan rumah oleh peneliti dari Tsunami and Disaster Mitigation Response (TDMR) dinilai tidak membawa efek positif jangka panjang.

“Di jangka pendek memang baik, karena memberi warga modal sehingga mereka bisa kembali ke kampung dan membangun hidupnya lagi… Tapi dampaknya sekarang, kemudian melahirkan masyarakat yang terbiasa meminta upah, kerja sedikit harus ada upah, pelatihan yang menguntungkan mereka sendiri minta upah,” kata Dr. Safrida dari Universitas Syiah Kuala.

Pemerintah provinsi dan tim akademisi dari TDMR mengajarkan, menurut Safrida, berusaha memberikan nilai-nilai moral dan etika untuk mengikis kebiasaan tersebut.