Pengalaman Menyandang Nama Adat

By , Kamis, 25 Desember 2014 | 17:40 WIB

Akhirnya, hari ini aku melaut juga. Setelah beberapa hari menunggu dengan penuh ketidakpastian di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, aku berangkat menuju desaku yang kucinta.

Adaut namanya. Salah satu desa di Pulau Selaru, yang merupakan pusat kecamatan, sehingga cukup padat penduduk.

Tak henti-hentinya aku mengucap syukur atas apa yang aku lihat sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pelabuhan Adaut. Lautnya yang jernih berwarna biru-hijau, pohon-pohon nyiur yang melambai di di sepanjang pantai, keramahan Bapak Kepala Sekolah dan seorang guru ketika menyambutku di pelabuhan, dan banyak hal lain yang membuatku takjub.

Yah, aku akan menetap di sini selama setahun, insyaallah.

Begitu sampai di rumah Bapak Kepala Sekolah yang menjadi orang tua angkat Mbak Ratih, Pengajar Muda angkatan II yang aku teruskan tugasnya— kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya disuguhkan dihadapanku. Tak perlu memanjat, malah harus sedikit membungkuk untuk mengambilnya.

Soal rasa, uh, jangan tanya! Jauh berbeda dengan kelapa muda yang biasa kurasakan. Entah ini aku yang terlalu berlebihan atau memang rasanya benar-benar mantap! Segarnya luar biasa...

Setelah beristirahat sejenak, aku diajak ke rumah kepala desa, calon Bapak dan Mama piaraku setahun nanti.

Dengan diantar oleh Mbak Ratih, Bapak, dan Mama piaranya, serta dua orang guru, aku berkunjung ke rumah sederhana namun sejuk itu. Rumah kepala desa tersebut terletak di lingkungan yang cukup padat; rumah-rumah berkumpul dan berdekatan satu sama lain.

Ada banyak hal yang menginspirasiku selama kurang lebih tiga jam berbincang dengan Pak Kepala Desa. Satu hal yang paling menarik adalah pemberian nama adat.

"Mbak Vira, mulai sekarang pakai marga Batlayar, ya. Jadi, selama di Adaut, tidak ada Savira Mega Putri. Yang ada adalah Savira Batlayar. Nah, kalau keluar desa, boleh dicoret nama ‘Batlayar’-nya,” ujar bapak angkatku ini sambil tersenyum.

Terharulah aku. Menyandang nama marga Bapak Kepala Desa yang itu berarti aku benar-benar sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Ya, begitulah adat di desa baruku ini. Setiap pendatang yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama akan menggunakan marga yang sama dengan pemilik rumah tempat dia menetap.

Jadi, di sinilah aku. Di sebuah desa yang tenang dengan keluarga yang sangat baik. Ini akan menjadi tahun yang hebat pastinya!