Simulasi Tsunami: Bentuk Kesiapsiagaan atau Rutinitas?

By , Rabu, 24 Desember 2014 | 17:45 WIB

“Gempa!” Teriakan itu terdengar di ruang kelas II SDN 24 Banda Aceh pada Selasa (23/12) pagi. Sontak, para siswa berlindung ke kolong meja dan mengumandangkan shalawat.

Apa yang mereka lakukan adalah bagian dari kegiatan simulasi siaga tsunami yang rutin dilakukan di sekolah tersebut.

Saat sirene peringatan tsunami berbunyi, mereka berlari keluar kelas dan mencari tempat yang tinggi. Meski hanya simulasi, para murid dan guru tampak serius. Tidak ada canda tawa, yang terdengar adalah doa.

“Kami mengintegrasikan siaga bencana, gempa dan tsunami ke dalam mata pelajaran serta nasihat-nasihat dari guru agar anak-anak ingat dan mengerti apa yang harus dilakukan,” kata Kepala Sekolah SDN 24, Nurlena.

Nurlena sendiri merupakan korban selamat tsunami 26 Desember 2004. Ia kehilangan anak perempuan, orang tua serta adik dan kakaknya dalam bencana itu.

Tetapi satu prinsip yang menurut Nurlena paling penting adalah sikap tidak panik. “Jangan panik, itu yang saya tekankan kepada anak-anak. Jangan panik, mereka juga diharapkan bisa menenangkan orang tua mereka.”

!break!

Rutin dilakukan di sekolah-sekolah, tetapi simulasi siaga tsunami jarang dilakukan di tingkat masyarakat umum. Sejumlah warga yang saya temui mengatakan tidak pernah melakukan simulasi tsunami di lingkungan tempat tinggal mereka.

Meski demikian, peneliti dari Tsunami and Disaster Mitigation Response (TDMR) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Syam Sidik mengatakan masyarakat Aceh sudah lebih sigap dalam menghadapi bencana.

“Untuk melihat apakah masyarakat sudah siap tanggap bencana, maka gempa yang terjadi 12 April 2012 gempa sudah bisa menjadi indikator bahwa masyarakat tidak lagi kebingungan. Mereka langsung mengevakuasi diri ke tempat tinggi, sebuah perilaku yang tidak kita temui pada 2004 lalu,” kata Syam.

Tsunami Aceh 2004. (Xinhua/XINHUA/Corbis)

Hal senada juga disampaikan oleh seorang warga Banda Aceh.

“Saat itu gempa saya tidak panik, santai saja jadi kalau ada gempa ya kita keluar rumah, dan kalau ada warga yang perlu ditolong ya ditolong. Kalau ada air naik, kami lari ke arah gunung,” kata Wildan Iena Yuwa.

!break!

Menghafal lagu

Menanamkan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan saat bencana kepada masyarakat, menurut Nurlena, perlu dilakukan dengan metode yang sederhana.

“Karena saya mendidik anak-anak, saya membuat lirik lagu tentang gempa yang menyanyinya mudah dan cepat anak-anak hafal, seperti ‘Kalau ada gempa lindungi kepala, kalau ada gempa masuk kolong meja’,” kata Nurlena.

Simulasi tsunami itu juga dimeriahkan dengan permainan sepak bola mini dengan tim yang terdiri dari murid-murid SDN 24 Banda Aceh dan Kapten Tim Nasional Jepang Makoto Hasebe.

Hasebe aktif terlibat dalam kegiatan rehabilitasi pascatsunami sejak beberapa tahun silam. Ia juga merupakan salah satu donor yang menyumbangkan lebih dari US$1,5 juta kepada UNICEF untuk membantu rekonstruksi pascatsunami Jepang 2012.

“Sebagai pesepakbola profesional, saya dikenal orang dan saya ingin menggunakan posisi saya untuk memotivasi orang lain. Apa yang saya donasikan bukan hanya kontribusi saya tapi juga banyak orang lain yang memiliki hati yang baik,” kata Hasebe.