Dari sebuah halaman dekat Jalan Malioboro terdengar senandung tembang Jawa. Pelantung Tembang merapal lagu dengan bahasa Jawa diikuti pengunjung lain dengan suara lirih. Inilah Macapat, budaya Jawa yang terus lestari.
Khusus di Yogyakata, kelompok-kelompok Macapat seperti ini kerap kali berkumpul, menghabiskan satu malam untuk berkontemplasi dengan tembang-tembang Jawa penuh makna. Mereka berkumpul di halaman rumah atau pun tempat lain.
Projo Suwarsono, salah satu guru Macapat di Yogyakarta yang sedang melantunkan tembang malam itu terlihat bersenandung dengan takzim. Beberapa orang yang setia datang mulai menyiapkan hidangan sederhana berupa ubi rebus, tahu goreng isi dan teh hangat. Kebetulan suasana malam itu sedang gerimis, sambil menunggu yang lain datang, Projo Suwarsono terus melantunkan tembangnya.
“Macapat adalah salah satu tradisi untuk mengenang wali. Macam-macam jenisnya tapi tak sembarang dapat dilantunkan. Ada notasi Jawa dan syair yang harus diperhatikan,” ungkapnya usai melantunkan Maskumambang, yaitu salah satu tembang Macapat.
Tak berapa lama, banyak orang mulai memenuhi lingkaran yang dibuatnya. Inilah pengunjung setia yang biasa mendengarnya. Mereka tak hanya datang untuk menikmati Macapat tapi juga belajar nembang.
“Di Yogyakarta, Macapat tak ubahnya bagai jamur. Di mana-mana banyak yang berminat mempelajari. Macapat lestari di kabupaten, kota hingga provinsi. Saat ini, hotel-hotel juga banyak yang menyelenggarakannya. Memberi wadah bagi kami yang ingin melestarikan,” tambahnya.!break!
Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun menurut Projo, ini bukan satu-satunya arti, penafsiran.
Banyak penafsiran lain yang mengartikan Macapat ini. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga. Namun hal ini biasa disebutkan oleh orang-orang di Jawa Tengah. Sebab, di Jawa Timur dan Bali, macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
“Yang kami pelajari, tembang macapat ada 11, yakni Maskumambang, Pocung, Gambuh, Megatruh, Mijil, Kinanthi, Asmaradana, Durma, Pangkur, Sinom, dan Dhandhanggula. Masing-masing ada maknanya. Secara keseluruhan, tembang-tembang ini menggambarkan kehidupan,” urai Projo.
Saat ini, penikmat macapat bukan hanya orang tua. Menurut Projo, kekinian banyak anak muda yang sudah mulai belajar.
“Awalnya mungkin disuruh orangtua lama-lama mereka cinta sendiri dengan budayanya. Makanya itu kami sebagai orang tua harus rutin berkumpul dan melestarikan, mereka (anak muda) boleh melihat dan belajar. Begitu juga wisatawan. Tidak dipungut biaya alias gratis. Kami hanya ingin melestarikan saja,” tutupnya sambil melanjutkan lantunan tembang berikutnya.