"Upaya ini berhasil dan menjadi perhatian dunia karena tidak ada satu anak pun dalam rombongan tersebut yang menjadi korban tsunami," papar Abdul yang pernah menjadi peneliti di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University.
Menilik Indonesia, kondisinya berbeda. Mitigasi belum menjadi fokus. Pendidikan kebencanaan sebagai salah satu pilar mitigasi belum optimal.
!break!Pakar gempa dan tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, "Konsep mitigasi kita ambigu, lebih dititikberatkan pada 'pemadam kebakaran' (tanggap darurat), bukan pencegahan."
Contoh kasus adalah rencana pembangunan bandara di Yogyakarta. Berdasarkan kajian Widjo dan rekan, lokasi bandara Yogyakarta baru di Pantai Glagah, Kulon Progo, rentan terdampak tsunami hingga ketinggian 9 meter.
Kajian telah disampaikan di media dan pemerintah daerah. Namun, hingga kini, belum ada tindak lanjut.
"Mereka mengungkapkan sudah dikaji dan lainnya. Namun ketika kita elaborasi detail, kajian itu sangat minim dan asal-asalan. Tanpa data," kata Widjo. Sempat dinyatakan, agar bebas tsunami, bandara akan dilengkapi tanggul. Menurut Widjo, itu takkan efektif.
Pembangunan di wilayah Aceh pasca gempa dan tsunami 2004 sendiri juga belum berawawasan kebencanaan. Wilayah dekat pantai yang rentan terdampak tsunami kini dipadati kembali oleh penduduk. Jika tsunami terjadi lagi, bisa dipastikan korban jatuh pun banyak.
!break!Rencana pembangunan di Aceh pasca 2004 berbeda jauh dengan yang dilakukan Jepang pasca tahun 2011.
"Pada kasus tsunami 2011 saja, dalam kurun 8 bulan (sampai Desember 2011) Jepang mengeluarkan 17 Undang-Undang yang benar-benar menjadi landasan dalam pelaksanaan rekonstruksi," kata Abdul.
Undang-undang tersebut terkait dengan pelaksanaan rekonstruksi mulai dari pembentukan badan otoritas, aturan rekonstruksi fisik, ekonomi, tata ruang, struktur pelindung tsunami, pengembangan wilayah pasca tsunami, sampah tsunami, keuangan, fiskal/pajak dan keimigrasian bagi korban tsunami.
"Keberadaan UU ini membuat segala kebijakan yang diambil oleh badan rekonstruksi Jepang memiliki dasar hukum yang kuat seperti pengosongan ruang pesisir yang terkena tsunami dengan ketinggian lebih dari 2 meter dari pemukiman, pembangunan struktur pantai dengan teknologi yang lebih baik dan pengembangan compact city (kota kecil dengan fasilitas publik yang teritegrasi)," imbuh Abdul.