Sejarah mencatat, gempa dan tsunami selalu memakan korban. Di Indonesia, setidaknya ratusan ribu jiwa tewas akibat bencana geologi itu.
Gempa bermagnitudo 7,8 di Samudera Hindia selatan Flores pada 12 Desember 1992 adalah salah satu contoh. Tsunami yang datang hanya 5 menit setelah gempa membuat warga tidak punya kesempatan menyelamatkan diri. Sejumlah 2.100 orang akhirnya tewas.
Kejadian tepat 10 tahun lalu, 26 Desember 2014, adalah contoh lain. Akibat gempa dahsyat bermagnitudo 9,2 di barat Sumatera, tsunami yang ketinggian maksimumnya mencapai 30 meter menerjang Aceh, menghancurkan kota, menewaskan hingga 160.000 orang warga lokal.
Banyaknya korban tewas memicu pemikiran bahwa tsunami seperti malaikat pencabut nyawa. Kematian akibat tsunami adalah takdir. Tak bisa dihindari. Tapi, benarkah demikian?
Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abdul Muhari, mengungkapkan fakta menarik tentang dampak gempa bermagnitudo 9 yang mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011 dan memicu tsunami besar.
"Dari sekitar 18,000 orang korban tewas maupun hilang pada saat tsunami Jepang 2011, 'hanya' sekitar 600 orang diantaranya adalah anak usia sekolah dengan umur kurang dari 15 tahun," katanya.
Abdul mengungkapkan, sebabnya adalah adanya mitigasi lewat pendidikan bencana yang komprehensif pada anak-anak.
Menurut Abdul, Jepang yang juga negara rawan gempa dan tsunami sangat fokus pada penyadaran risiko bencana. Di Jepang, fokus edukasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah anal-anak.
!break!Untuk membuat anak-anak siap menghadapi bencana, selama 10 tahun terakhir, Jepang memasukkan intervensi pendidikan kebencanaan baik melalui kurikulum wajib maupun kegiatan ekstra kurikuler.
Hasilnya, anak-anak bukan hanya sadar masalah bencana. Saat gempa dan tsunami 2011, anak-anak bisa membantu kalangan lain yang lebih rentan.
"Di Kamaishi Town, murid-murid SMP menginisiasi dan melakukan evakuasi mandiri dengan membawa serta adik kelas mereka yang merupakan murid SD," papar Abdul, Selasa (24/12).
"Upaya ini berhasil dan menjadi perhatian dunia karena tidak ada satu anak pun dalam rombongan tersebut yang menjadi korban tsunami," papar Abdul yang pernah menjadi peneliti di International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University.
Menilik Indonesia, kondisinya berbeda. Mitigasi belum menjadi fokus. Pendidikan kebencanaan sebagai salah satu pilar mitigasi belum optimal.
!break!Pakar gempa dan tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, "Konsep mitigasi kita ambigu, lebih dititikberatkan pada 'pemadam kebakaran' (tanggap darurat), bukan pencegahan."
Contoh kasus adalah rencana pembangunan bandara di Yogyakarta. Berdasarkan kajian Widjo dan rekan, lokasi bandara Yogyakarta baru di Pantai Glagah, Kulon Progo, rentan terdampak tsunami hingga ketinggian 9 meter.
Kajian telah disampaikan di media dan pemerintah daerah. Namun, hingga kini, belum ada tindak lanjut.
"Mereka mengungkapkan sudah dikaji dan lainnya. Namun ketika kita elaborasi detail, kajian itu sangat minim dan asal-asalan. Tanpa data," kata Widjo. Sempat dinyatakan, agar bebas tsunami, bandara akan dilengkapi tanggul. Menurut Widjo, itu takkan efektif.
Pembangunan di wilayah Aceh pasca gempa dan tsunami 2004 sendiri juga belum berawawasan kebencanaan. Wilayah dekat pantai yang rentan terdampak tsunami kini dipadati kembali oleh penduduk. Jika tsunami terjadi lagi, bisa dipastikan korban jatuh pun banyak.
!break!Rencana pembangunan di Aceh pasca 2004 berbeda jauh dengan yang dilakukan Jepang pasca tahun 2011.
"Pada kasus tsunami 2011 saja, dalam kurun 8 bulan (sampai Desember 2011) Jepang mengeluarkan 17 Undang-Undang yang benar-benar menjadi landasan dalam pelaksanaan rekonstruksi," kata Abdul.
Undang-undang tersebut terkait dengan pelaksanaan rekonstruksi mulai dari pembentukan badan otoritas, aturan rekonstruksi fisik, ekonomi, tata ruang, struktur pelindung tsunami, pengembangan wilayah pasca tsunami, sampah tsunami, keuangan, fiskal/pajak dan keimigrasian bagi korban tsunami.
"Keberadaan UU ini membuat segala kebijakan yang diambil oleh badan rekonstruksi Jepang memiliki dasar hukum yang kuat seperti pengosongan ruang pesisir yang terkena tsunami dengan ketinggian lebih dari 2 meter dari pemukiman, pembangunan struktur pantai dengan teknologi yang lebih baik dan pengembangan compact city (kota kecil dengan fasilitas publik yang teritegrasi)," imbuh Abdul.
Ketika pembangunan berwawasan kebencanaan belum dilakukan, masalah bencana justru dipakai untuk mewujudkan proyek yang menguntungkan segelintir kelompok.
"Beberapa dimanfaatkan malah oleh 'penumpang gelap'. Misalnya rencana reklamasi di Bali yang dihubung-hubungkan dengan pengurangan risiko tsunami. Itu bencana yang sebenarnya," tegas Widjo.
Melihat apa yang terjadi di Jepang dan negeri kita, bencana alam sebenarnya bukan menjadi penjemput kematian. Bencana hanya akan memakan korban bila manusianya tidak punya senjata untuk lolos dari ancamannya.
"Bencana yang sesungguhnya bukan gempa, tsunami, longsor, banjir, tetapi manusia yang tidak mau belajar dari lingkungan, potensi-potensinya, dan ancamannya," kata Widjo.
Akal budi membantu manusia untuk lolos dari bencana. Manusia bisa menciptakan teknologi, mengamati alam dan potensi bencananya, berinvestasi pada kebencanaan, serta terus belajar. Ancaman kematian yang sebenarnya adalah kebebalan kita.