Konflik Bersenjata Tak Mengganggu Perkembangan Tenun Aceh

By , Jumat, 26 Desember 2014 | 17:35 WIB

Sejak awal abad 19, tenun Aceh mulai dikenal masyarakat luas. Budaya tenun yang relatif baru ini merubah kebiasaan berbusana masyarakat Aceh. Laila Abdul Jalil, peneliti tenun Aceh mengungkap kebudayaan ini disinyalir sebagai pelarian masyarakat dari kesibukan berperang.

Ditemui di rumahnya di kawasan Taman Sari Gunongan Banda Aceh, (25/12) Laila membeberkan perjalanan sejarah tenun Aceh.

"Dari literasi yang ada, foto-foto zaman dahulu memperlihatkan masyarakat Aceh berbusana serba hitam. Berikut dengan ikat kepala yang juga hitam. Tidak ditemui bukti sejarah sebelum abad 19 atau di akhir abad 18 yang membuktikan cara berbusana di luar kain hitam," jelasnya.

Pakaian serba hitam, lanjut Laila, merupakan identitas masyarakat yang relatif sama di beberapa tempat. Di dataran tinggi Gayo maupun di wilayah pesisir, pakaian bermotif baru ditemui sejak pertengahan abad 19.

"Salah satu tempat tertua dalam perkembangan tenun adalah Mukim Siem, Aceh Besar," ungkap Laila.

Hasil proses menenun yang dikerjakan oleh para penenun yang dapat kita jumpai di Siem, Aceh Besar. (Syafrizaldi)

Wilayah ini merupakan satu perkampungan yang terisolasi secara alami. Perumahan masyarakat dikelilingi oleh perbukitan dan hanya memiliki satu pintu masuk. Pintu masuk itu hanya bisa dilalui dari Banda Aceh. Kalaupun ada yang mencoba masuk dari laut, maka perbukitan di sekelilingnya akan melindungi.

"Secara geografis, ini adalah wilayah teraman untuk melakukan berbagai aktivitas di masa perang," ungkapnya lagi.

Laila yang sudah lama melakukan penelitian di wilayah itu juga menemukan fakta, konflik bersenjata di zaman Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun tidak menghentikan akivitas menenun.

Salah satu motif tenun Aceh yang dibuat oleh para penenun di Siem, Aceh Besar. (Syafrizaldi)

Narasumber di lapangan yang ditemui Laila mengungkap keadaan perang dan konflik bersenjata memang mengganggu kegiatan menenun. "Tapi tidak mematikannya," tandas Laila.

Kalau terjadi kontak senjata, lanjutnya, biasanya kegiatan menenun hanya akan berhenti sebentar menjelang suara senjata berlalu. Setelah itu, menenun tetap dilanjutkan.

Bahkan, sebelum konflik Aceh pada 1970-an , kata Laila, pengrajin tenun memiliki peternakan ulat sutera sendiri sehingga tidak tergantung dengan pasokan benang sutera dari daerah lain. Namun kini, pengrajin Siem sangat tergantung dangan pasokan benang sutera dari Jawa Barat.

Hasil riset yang dipublikasikan Museum Aceh dalam kalalog koleksi tenun Aceh merupakan salah satu buah tangan Laila yang cukup menarik. Katalog ini berisikan ragam hias beserta makna dari tenunan Aceh.