Awan komulonimbus (comulonimbus/CB) kerap disebut sebagai "musuh" utama dalam dunia penerbangan. Masuk ke dalam awan ini akan berarti guncangan hebat dan diterpa hujan--yang terparah berupa butiran es--deras.
Efek bagi pesawat yang masuk ke dalam CB adalah terjadinya gangguan terhadap instrumen pesawat hingga mesin mati. Gagal melewati CB merupakan salah satu dugaan awal atas hilangnya pesawat AirAsia berkode penerbangan QZ8501 pada Minggu (28/12/2014).
Abdul Rozaq (58) adalah salah satu pilot dari Garuda Indonesia yang pernah mengalami rasanya berada di tengah CB. Dia adalah pilot yang mendapat pujian dunia karena bisa melakukan pendaratan darurat di atas Sungai Bengawan Solo, dengan seluruh penumpang selamat.
Dalam insiden tersebut, satu pramugari meninggal di tengah proses mengeluarkan penumpang dari pesawat, setelah melewati CB dan pendaratan darurat. Insiden tersebut terjadi pada 17 Januari 2002.
"Saat itu pesawat saya belum berteknologi secanggih sekarang terutama untuk weather radar, alat yang bisa memproyeksikan kondisi cuaca di depan pesawat hingga jarak 20 mil sampai 40 mil," tutur Rozaq, di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/12).
Rozaq menuturkan, pada waktu itu dia menerbangkan Boeing 737 dalam penerbangan dari Mataram ke Yogyakarta. Ketika pesawat sudah mengarah ke Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, ujar dia, pesawat tiba-tiba berhadapan dengan CB yang sangat besar.
"Jaraknya sudah sangat dekat, sangat sulit untuk menghindar. Kalau enggak salah, di sebelah kiri restricted area, kanannya gunung-gunung, jadi mau enggak mau harus masuk ke dalam awan CB," kenang Rozaq.
Terguncang dan mesin mati
Begitu sudah berada di dalam CB, lanjut Rozaq, pesawat terguncang bahkan terpental-pental naik-turun hingga sejauh 500 kaki. Prosedur penerbangan darurat pun langsung diaktifkannya, termasuk menyampaikan kepada penumpang untuk duduk dan mengenakan sabuk pengaman, serta berkoordinasi dengan menara pengatur lalu lintas udara (ATC) terdekat.
Namun, tak berselang lama sejak masuk ke dalam CB, mesin kedua di pesawat itu mati karena membeku terkena imbas CB. Komunikasi dengan ATC pun terputus. Selama beberapa waktu, pesawat terbang tanpa kepastian dan tak tahu kondisi lalu lintas udara di sekitarnya.
"Kami restart mesin, tapi tidak berhasil. Co-pilot teriak mayday, mayday. Saat itu sudah pasrah dan berdoa saja. Kemungkinan terjelek, kami semua mati," tutur Rozaq. Mayday adalah kode yang menyatakan kondisi darurat dalam dunia transportasi internasional, terutama penerbangan.
Menurut Rozaq ketinggian pesawat juga sudah turun dari ketinggian jelajah 30.000 kaki menjadi 20.000 kaki dan sudah semakin dekat dengan Bandara Adisutjipto. Pelahan pesawat melewati CB dan daratan mulai terlihat tetapi pesawat tak pada posisi bisa langsung mendarat di bandara tujuannya itu.
Dari semua pilihan yang membentang di depannya, Rozaq memutuskan mendarat di permukaan Sungai Bengawan Solo. "Masih dengan tangan gemetar dan shock, saya coba memberi tahu petugas terdekat (dari lokasi pendaratan darurat)," kata dia.
Berdasarkan pengalamannya, Rozaq berkeyakinan apa pun yang terjadi dengan AirAsia QZ8501, emergency locator transmitter (ELT)--alat untuk memberitahukan lokasi pesawat yang mengalami kecelakaan--seharusnya masih berfungsi.
Ketika pesawat yang dipilotinya mendarat di Bengawan Solo, ELT di pesawatnya masih aktif sekalipun badan pesawat terendam air. Dia berharap sinyal ELT QZ8501 segera bisa terlacak untuk mempercepat proses penemuan pesawat.