Makan Bersama, Bergembira

By , Jumat, 2 Januari 2015 | 17:47 WIB

Secara biologis, makanan adalah bahan bakar. Begitu istilahnya. Makanan memberikan kita energi untuk setiap aktivitas yang kita lakukan. Pangan merupakan kebutuhan yang sifatnya primer.

Namun, jangan dikira makanan sekadar kebutuhan biologis bagi manusia. Pada akhirnya makanan memiliki fungsi dan makna lebih.

Makanan itu simbolis. Makanan jadi esensi sebuah perayaan. Contoh paling nyatanya, Tahun Baru yang baru saja kita rayakan. Apa dan bagaimana pun caranya, seluruh penjuru dunia menyambut kedatangan tahun dengan berpesta: makan dan minum.

Makanan bagian tak terpisahkan dari transisi kehidupan. Kue ulang tahun, kue pernikahan. Membuka sampanye lazim untuk menandai tiap kemenangan. Hidangan dalam upacara pemakaman. Dalam setiap tahapan yang kita lalui dalam kehidupan, mulai dari lahir sampai kematian, nyatanya selalu ada makanan yang dikaitkan pada ritual-ritual tersebut.

Makanan membentuk identitas budaya. Akarnya, tiap-tiap suku memiliki makanan khusus. Secara kolektif, makanan itu pun menjadi unsur yang memperkuat rasa memiliki dari suku tersebut.

Makanan sebagai perekat sosial. Meja makan mempertemukan sahabat dan rekan, menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda. Lewat berbagi makanan bersama, terbentuk komunikasi dan ikatan. Para peneliti memperkirakan nenek moyang kita pun sudah melakukannya sejak kurang lebih dua juta tahun lamanya.

Menurut Kamus Inggris Oxford, definisi kata makan yaitu "kesempatan mengambil makanan oleh adat atau kebiasaan pada waktu-waktu tertentu dalam sehari". Maka makan bersama juga menjadi praktik yang universal, ditemukan di semua negara, berbagai ragam kebudayaan dan kelas sosial.

Baca lanjut mengenai Sukacita Bersantap dalam NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA - Desember 2014.