"Kalau di Jakarta aja gini, gimana di daerah lain ya?". Pertanyaan itu terlontar secara tiba-tiba dari mulut salah satu rekan saya saat tiba di Landasan Udara Pondok Cabe, Ciputat, Jakarta, Jumat (9/1) malam. Sudah sepuluh hari terakhir, saya bersama rekan saya sesama jurnalis meliput proses pencarian korban dan pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Laut Jawa pada 28 Desember 2014.
Tiga hari setelah proses pencarian dimulai, saya akhirnya mendapatkan tugas untuk menuju Pangkalan Bun, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah yang menjadi pusat pencarian AirAsia QZ8501. Berbekal informasi yang ada, akhirnya saya terbang ke Pangkalan Bun bersama sekitar 50 jurnalis lainnya dengan menumpang pesawat Hercules C-130 milik TNI Angkatan Udara.
Jujur saja, peristiwa hilangnya pesawat yang menimpa 155 penumpang dan tujuh kru itu membuat saya sedikit khawatir manakala harus bepergian dengan menggunakan pesawat komersil. Beruntung, ada pesawat milik TNI AU yang setidaknya saya anggap 'lebih aman' dari pesawat komersial pada umumnya.
!break!Mulai ragu
Sejak awal tiba di Pangkalan Bun, saya berniat ingin berada di kota kecil ini setidaknya hingga kotak hitam pesawat itu ditemukan. Pikiran saya saat itu, "jangan sampai nanggung". Pasalnya, bukan kali ini saja saya harus melewatkan "gong" dari sebuah peristiwa besar.
Hari kedelapan saya berada di Pangkalan Bun, atau hari kesebelas pencarian, harapan untuk mengungkap misteri hilangnya AirAsia QZ8501 muncul. Tim penyelam TNI Angkatan Laut berhasil menemukan ekor pesawat yang diyakini menjadi tempat kotak hitam berada. Lega sudah rasanya. Meski kotak hitam itu ditemukan, namun belum diangkat. Setidaknya, saya bisa pulang dengan membawa kabar bagus.
Kamis (8/1) pagi, setelah diskusi dengan atasan akhirnya diputuskan bahwa saya harus pulang ke Jakarta. Ada rekan saya lain yang akan menggantikan posisi saya di Pangkalan Bun ini. Selain itu, ada rasa kangen juga untuk kembali ke ibu kota.
Keesokan harinya, waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB saat saya tiba di Landasan Udara Iskandar, Pangkalan Bun. Ada rasa ragu untuk pulang ketika saya melihat dua pesawat maskapai komersil landing di Lanud Iskandar. Bayangan kekhawatiran itu muncul kembali. Siluet gambaran peristiwa yang menimpa QZ8501 pun terbayang di pikiran saya.
Sayangnya, setelah beberapa hari terakhir sejak penemuan jenazah pertama, tidak ada lagi pesawat TNI yang terbang langsung ke Jakarta. Pesawat itu akan terbang ke Surabaya terlebih dahulu untuk mengantar jenazah penumpang AirAsia sebelum akhirnya bertolak ke Surabaya. Mau tidak mau, akhirnya saya harus mempercayakan penerbangan saya kepada salah satu maskapai penerbangan komersial yang ada di Pangkalan Bun.
!break!
Halim ke Pondok Cabe
Jumat sore, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Rupanya, rekan saya sesama jurnalis memberitahukan ada pesawat TNI yang akan lepas landas ke Halim. Belum sempat berpamitan, saya segera berlari ke runway, karena menurut pesan itu, pesawat tersebut tengah bersiap untuk berangkat.
Di runway, sebuah pesawat Casa berwarna abu-abu milik TNI Angkatan Laut sudah terparkir. Kru pesawat sedang briefing ketika saya tiba dengan terengah-engah. Maklum, saya harus berlari mengejar waktu agar tidak tertinggal. Seorang petugas lantas mencatat nama saya untuk masuk ke manifest penumpang. Setelah itu, saya dipersilakan masuk.
Sejumlah rekan saya rupanya sudah berada di dalam pesawat tersebut. Setidaknya, ada empat jurnalis lain selain saya yang ikut dalam rombongan ini. Selain itu, ada tiga petugas dari Angkasa Pura dan sekitar enam kru pesawat yang turut dalam penerbangan.
"Pesawat enggak ke Halim ya, tetapi ke Pondok Cabe," ujar salah seorang kru pesawat.
Ah sial, dalam hati saya sedikit menggerutu, karena saya harus menambah uang transportasi lagi untuk menjemput sepeda motor yang sudah lama diparkir di Halim. Tapi setidaknya, penerbangan ini membawa saya kembali ke Jakarta, kota yang saya rindukan sejauh apapun saya pergi.
Lampu motor ojek
Pesawat akhirnya meninggalkan Pangkalan Bun menuju Jakarta sekitar pukul 16.30 WIB. Sepanjang penerbangan, saya habiskan waktu saya untuk bertukar cerita mengenai pengalaman meliput di Pangkalan Bun dan suka-duka melakukan peliputan di tengah bencana dengan transportasi kota yang minim.
Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB saat saya tiba di langit Kota Jakarta. Saya pun sempat mengabadikan kerlap kerlip lampu jalanan dan kendaraan dari dalam pesawat yang tengah terbang pada ketinggian 2.000 kaki di atas permukaan laut. Ah, saya sudah rindu dengan kota ini.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit hingga kami benar-benar mendarat di Pondok Cabe. Empat puluh lima menit? Kok lama ya? Rupanya, pesawat Casa ini sempat berputar beberapa kali di wilayah Pondok Cabe. Bahkan, sempat juga pesawat ini "bergoyang" ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya mendarat sempurna.
Suasana di Lanud Pondok Cabe gelap gulita. Satu-satunya penerangan yang ada hanyalah di hanggar tempat di mana sejumlah pesawat menjalani perawatan. Sementara itu, di runway tempat pesawat yang saya tumpangi mendarat, tak ada satu pun lampu yang terpasang. Ini aneh.
"Tadi ngerasa ada yang aneh nggak? Atau lihat ada yang aneh nggak di sekitar sini?" tanya salah seorang kru yang bertugas memonitor radar kepada saya.
"Iya pak, kok ini gelap banget ya? Lampu landasannya mana kok enggak ada?" tanya saya kepada kru tersebut.
Kru itu kemudian menjelaskan bahwa pesawat ini memang sempat melakukan putaran beberapa kali. Tidak adanya lampu penerangan membuat pilot cukup kesulitan untuk mencari runway. Sebagai patokan, lampu sepeda motor milik tukang ojek dijadikan patokan bahwa kami sudah tepat berada di runway. Itulah sebabnya mengapa kami tadi sempat bergoyang, lantaran sang pilot sedang mencari dimana posisi lampu tukang ojek itu berada.
Miris. Di Jakarta yang notabene merupakan ibu kota negara, rupanya masih ada lapangan udara (lanud) yang tak dilengkapi lampu runway. Padahal, keberadaan lampu itu sangat penting bagi pilot untuk dapat mendaratkan pesawat yang dikemudikannya dengan selamat. Keberhasilan pilot dalam mengemudikan pesawat adalah kunci keselamatan seluruh penumpang. Kalau di Jakarta saja masih ada lanud yang memiliki runway tanpa lampu, bagaimana dengan kondisi lanud lain di daerah?