Kebanyakan Kerja, Karyawan Jepang Kini "Dipaksa" untuk Berlibur

By , Senin, 12 Januari 2015 | 10:44 WIB

Pemerintah Jepang, pada Jumat (9/1), menerbitkan undang-undang baru yang akan "memaksa" para karyawan negeri itu untuk berlibur. 

Harian Yomiuri Shimbun mengabarkan, para karyawan di Jepang sangat "malas" untuk mengambil cuti. Sepanjang 2013, mereka hanya mengambil kurang dari separuh jatah cuti. Dengan peraturan baru ini, Pemerintah Jepang berharap bisa meningkatkan angka liburan para karyawan hingga 70 persen pada 2020.

Pada masa pertumbuhan ekonomi yang tak menentu ini, banyak perusahaan Jepang yang meminta para karyawannya bekerja lebih keras. Banyak karyawan muda yang harus bekerja lembur lebih dari 100 jam selama satu bulan.

Namun, hampir dua pertiga karyawan di Jepang ternyata enggan mengambil jatah cuti juga karena mereka merasa sungkan dengan para rekan kerjanya.

Menurut hasil studi Institut Pelatihan Kebijakan Tenaga Kerja Jepang, lebih dari separuh karyawan di negeri itu mengatakan bahwa mereka tak sempat berlibur karena beban kerja yang terlalu banyak.

Para karyawan itu juga mengatakan, mereka yang mengambil cuti pada masa kesulitan ekonomi seperti saat ini berisiko dianggap sebagai seseorang yang tak memiliki komitmen. Alhasil, kasus-kasus karoshi atau meninggal dunia karena bekerja terlalu keras kini menimpa semua lapisan karyawan, mulai dari yang berusia tua hingga muda.

Selalu ada yang menarik orang kembali ke laut dan tiruannya. Di gelanggang samudra Summerland di Tokyo ratusan pencari hiburan dapat berlibur sebentar dari siang yang panas. (Michael Yamashita)

Saat ini, para karyawan di Jepang memiliki hak 10 hari cuti setahun. Jumlah hari cuti itu bertambah sehari setiap tahun hingga mencapai angka maksimal, yaitu 20 hari setahun. Undang-undang baru itu setelah diberlakukan akhir Januari nanti diharap bisa membuat pihak pengelola perusahaan memastikan karyawan mereka mengambil jatah cuti tahunan.

Pemerintah Jepang mengatakan, undang-undang baru itu dibuat untuk mencegah beban kerja yang terlalu banyak dan memungkinkan para karyawan Jepang memiliki keseimbangan dalam kehidupan serta pekerjaan.