Menuju Puncak Gunung Suci dengan Nilai Budaya

By , Rabu, 14 Januari 2015 | 13:12 WIB

Rumah para dewa demikian orang yunani menyebut Olympus. Gunung yang menjadi kediaman para dewa Yunani kuno, yang dipimpin oleh Zeus. Hal serupa dirasakan oleh warga Pulau Dewata dalam memaknai Gunung Agung (3.242 m). Di situlah kediaman naga besukih bersisik emas dan berekor berlian.

Bagi masyarakat Bali, Gunung Agung merupakan gunung utama untuk upacara keagamaan hindu. Meski demikian, terbuka kesempatan bagi awam untuk melakukan pendakian, dengan mengindahkan aturan dan adat setempat. Seperti pantangan naik bagi para perempuan yang mengalami menstruasi, atau membawa bekal daging sapi, atau lembu dalam bentuk apapun, sesuai yang diajarkan agama hindu.

Jalur pendakian terpopuler adalah jalur pura besakih, pura terbesar di Bali membutuhkan waktu 8-12 jam. Ciri khas antar jalur pendakian tak berbeda jauh. Saya dan teman mendaki pada malam hari agar dapat menikmati terbit matahari dari puncak. Diawali melalui hutan 3-5 jam, tak begitu curam dan bentuknya cukup jelas terlihat. Pada beberapa bagian memang ada jalur curam, tapi bantuan alam seperti akar pohon sangat mempermudah pendakian. Di sini tiada tempat berkemah, dan kami memang tak berniat melewatkan malam di Gunung Agung.

Pada ketinggian 2.500 m, batas hutan sudah terlewati. Pepohonan mulai digantikan perdu yang tak lebih tinggi dari tubuh manusia. Terdapat tempat berkemah, ditemani monyet-monyet yang dikeramatkan di Pulau Dewata. Dari sinilah para pendaki melakukan summit attack sekita 3-4 jam. Jalur tanah digantikan batu dan kerikil dari lava membeku. Saya melewati jalur melikuk-lukuk ini dengan tingkat kehati-hatian tinggi. Batu kerikil yang membuat jalur makin licin dapat menyebabkan pendaki terpeleset. Karena tiada pepohonan untuk berpegangan, terpeleset dapat berarti jatuh ke jurang.

Selain pemandangan matahari terbit. Gunung Batur di Bali serta Gunung Rinjani di pulau Lombok pun terlihat dari puncak Gunung Agung. Sementara nuansa magis sebagai puncak yang disucikan masyarakat Hindu Bali membuat pendakian juga memuat nilai-nilai budaya lokal.