“Bagaimana kalau kita camping di Pulau Pombo, Bang?” cetus sobat saya yang menyukai segala sesuatu tidak terencana. Pasalnya, bila merancang dengan matang, seringkali malah tidak kesampaian, jadilah kami mendapat bantuan perbekalan tenda peralatan masak dan segala kebutuhan camping – dari sahabat-sahabat baru saya di Dharmapala, organisasi pecinta alam Universitas Darusalam, Ambon. Lalu bertolaklah kami ke pelabuhan rakyat di Waai, Pulau Ambon. Perjalanan berperahu kecil berlangsung pada malam hari mengarungi perairan Maluku tanpa alat bantu navigasi modern. Wow, mengasyikan!
Perjalanan sekita 25 menit, namun menurut juru mudi, jika siang hari cukup 15 menit. Bumbu pelayaran pada malam hari adalah melihat kapal kandas dekat Pombo dengan alat penerangan seadanya. Kapal tersangkut terumbu karang yang mengelilingi pulau indah ini. Begitu tiba, kami masing-masing disibukkan oleh kegiatan mendirikan tenda dan membuat kopi, yang lalu kami nikmati di atas pantai pasir putih dan beratapkan langit malam yang bertabur bintang.
Pulau Pombo telah menjadi kawasan pelestarian bagi hayati khas Maluku. Status pulau yang namanya diambil dari nama sejenis merpati yang sering singgah adalah cagar alam. Artinya, untuk memasuki kawasan ini kita memerlukan surat izin. Untuk mengurusnya silakan datang ke kantor pengelola kawasan hutan di daerah Kebun Cengkeh. Arus yang berputar telah memperkaya perairan pulau indah yang berada di antara Pulau Ambon dan Haruku ini. Ada berbagai jenis biota laut, seperti ikan puri, momar, komu, lema, bia kambing, kima, dan lainnya. Belum lagi gugusan terumbu karang yang masih tergolong baik.
Terima kasih, sobat yang sudah menuntun perjalanan saya ke tempat cantik ini. Setelah berenang di pagi hari dan menikmati keelokan alam Pantai Pombo, perahu yang menjemput kami pun datang. Dalam hati saya bergumam, “Saya pergi untuk kembali lagi ke sini.”