Slow Journalism, Kekuatan di Era Serbacepat

By , Jumat, 16 Januari 2015 | 11:08 WIB

Paul Salopek, jurnalis peraih Hadiah Pulitzer, membuat proyek melacak kembali jejak migrasi leluhur manusia 60.000 tahun lalu—berjalan kaki sejauh lebih dari 34.000 kilometer. Dan slow journalism yang dikembangkannya, adalah sebuah model baru untuk bercerita mendalam.

(www.outofedenwalk.com)

Perjalanan panjang, jurnalisme baru

Tujuh tahun perjalanan "Keluar dari Nirwana" (Out of Eden) untuk bercerita, si peliput telah berjalan melintasi petak demi petak wilayah; Afrika dan Timur Tengah, dari Etiopia ke Turki, dengan dukungan National Geographic Society, Knight Foundation serta Harvard University.

Salopek mengatakan, yang diinginkannya menciptakan genre jurnalisme yang memungkinkan jurnalis untuk tidak tergesa-gesa. Meluangkan waktu untuk berhenti di jalan, berbicara dengan orang-orang yang dijumpai.

Dengan mendatangi tempat-tempat, dia merangkai mosaik cerita. Dia menghabiskan waktu yang diperlukan untuk lebih memahami apa yang dilihatnya di lapangan.

"Fast journalism umumnya adalah soal informasi," ucap Susan Goldberg, Editor in Chief Majalah National Geographic, berbicara sebagai salah satu panelis dalam forum publik "Slow Journalism" pada Selasa (13/1). "Slow journalism sebagian besar tentang makna."

"Ya, dengan slow journalism saya dapat menjalin hubungan, sesuatu yang Anda lewatkan saat Anda bepergian terlalu cepat," tutur Salopek, yang turut bergabung melalui video-call.

Dia menjelaskan, "Dunia ini kompleks, dan kita membutuhkan lebih daripada sekadar potongan-potongan informasi."

"Tidak berarti [laporan] Anda itu seakan-akan basi. Kuncinya—adalah berpikir sebelum bicara, dan berpikir sebelum Anda menuliskan."

"Slow journalism bahkan bisa mendobrak. Dengan mendalami dan membuat koneksi antara perihal yang tidak terkait, hubungan yang tidak bisa dilihat orang lain."

"Dan di saat semua orang bergerak cepat, kita memperlambat langkah untuk melebur, menenggelamkan diri ke dalamnya—ketimbang cuma 'lewat'."

Goldberg juga mengatakan, Salopek menyatukan pengamatan menjadi karya jurnalistik menarik.

Di samping itu slow journalism tidak berarti penyampaiannya pun secara lambat. "Paul Salopek menggunakan segala media tercepat untuk menyebarkan seluruh cerita tersebut dari jarak jauh. Selain berbagi pengalaman di majalah, dia blogging, tweeting, dan video chatting," tambah Goldberg.

Baca blog Salopek di sini: Keluar dari Nirwana