Di masa penjajahan Belanda, kawasan serangan yang berada di ketinggian 1.287 m dpl merupakan satu dari lokasi tetirah favorit mereka di Jawa.
Sekarang, pada kunjungan yang sudah berlangsung kesekian kalinya sejak masa kanak-kanak, kami mendapati Telaga Pasir – begitu nama asli Telaga Sarangan – tetap mempertahankan nuansa klasiknya. Hotel-hotel, penginapan dan resto di tepian menghasilkan bayang-bayang di atas telaga, berlatarbelakang pepohonan cemara. “Terkesan seperti Little Switzerland,” komentar Jeroen Johannis, pejalan asal Negeri Belanda. “Apalagi bisa tidak ada perahu bermotor melintasi di atas danau. Saya menyukai keheningannya.”
Beberapa pasangan, terlihat mengayuh sepeda air berbentuk bebek. Kami tak mau ketinggalan, ikut menyewa ‘seekor’ untuk menjelajah Telaga Sarangan berkeluasan sekitar 30 ha serta kedalaman 28 m. Telaga Sarangan bereda di lereng timur Gunung Lawu (3.265 m) – sebuah stratovolcano non-aktif yang terakhir beraktivitas pada tahun 1885.
Temperatur enggan beranjak dari kisaran 19-25 derajat celcius, membuat aktivitas mengayuh sepeda air berjalan tanpa rasa gerah.
Esok paginya, setelah kabut naik, kami berjalan kaki 2,5 km ke arah barat Telaga Sarangan, menuru air terjun Tirtosari. Berdua di tengah alam hijau, jauh dari hiruk pikuk kota dan menjumpai jajaran cemara, dinginnya kabut pegunungan serta limpahan air Tirtosari ‘memecah’ di atas bebatuan membuat jiwa kami merasakan relaksasi alami.
Kembali ke tepian danau sesudah mengabadikan lansekap Tirtosari, kami menyantap hangatnya sate kelinci. Sembari mengipas-ngipas bara api untuk pesanan kami yang kedua kali, Pak Mardi, penjual sate berusia paruh baya bersenandung lagu karya Iwan Setiawan yang dinyanyikan Tjitjit Soewarno, Telaga Sarangan; Pergi bertamasya bergembira/ Ke Telaga Sarangan indah permai/Di tepi telaga aneka bunga/Berpagarkan bukit pohon cemara/Mendayung perahu berlayar mengitari telaga/Airnya jernih dan biru mempesona/Pemandangan indah, penuh kenangan/Telaga Sarangan indah nian.