Matahari menyeruak dari balik lekuk perbukitan Sumatra kami dapati saat membuka jendela kamar lantai dua, sebuah penginapan di Ambarita, Pulau Samosir. Terasa serat makna, karena pemandangan ini sebuah cakrawala awal tahun baru. Kami memulai hari dengan berenag di Danau Toba yang terpisah beberapa langkah dari tempat bermalam, menyantap hidangan lokal, lalu berpergian ke Pangururan. Melewati perkampungan dengan rumah-rumah tradisional beratap meruncing dan dipenuhi ragam hias kayu berukir, gereja serta makam-makam keluarga bertanda salib pada atapnya.
Gultom, pegawai tempat kami menginap mengungkapkan banyak tamunya menginap penasaran soal Pulau Samosir; benar-benar sebuah pulau mandiri atau menyambung ke daratan Sumatra. Karena itu, kami diajak ke ‘Jembatan Diponggol’ di daerah Pangururan. Rupanya di masa penduduk Belanda, penjajah memotong ruas alami penghubung Pulau Samosir dengan Sumatra daratan, demi memperkecil ruang gerak pejuang tanah Batak. Kini, kawasan itu disatukan lagi dengan jembatan.
Dari Pangururan, perjalanan diteruskan ke Danau Sidohoni. Unik, karena danau itu berada di sebuah pulau yang terletak di atas danau pula. “Bisa disebut ‘danau di atas danau’,” jelas Gultom. Dari sebrang Sidohoni, terbentang lanskap pucuk-pucuk cemara dan awan-gemawan bergelantung di langit biru. Bisa dibayangkan keindahan yang tercipta, ketika kabut pagi beranjak naik dan sinar matahari mulai menghangatkan perbukitan.
Saya teringat peristiwa lebih dari 10 tahun lalu, saat bertandang bersama para istri pembesar FIA (Federation Internationale de I’Automobile) pasca Rally of Indonesia. “Meski negeri kami terkenal sebagai ‘Negeri Seribu Danau’. Toba sebagai danau vulkanik terbesar di dunia sangat mempesona saya,” ujar Milli Mahonen dari Finlandia, seusai kami menonton tarian Sigale-gale di Tomok. Keindahan yang tetap ada, ketika saya datang bersama sang terkasih, bertahun-tahun kemudian.