Berdaya dengan Video Partisipatif

By , Selasa, 20 Januari 2015 | 17:20 WIB

Mai utu...mai punu!” Demikian teriak warga Desa Manubhara, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Minggu (4/1). Teriakan ratusan warga itu terdengar lantang, padahal hari sudah gelap. Seruan yang berarti “mari kumpul, mari usul” tersebut merupakan slogan yang dipakai oleh Komunitas Kreatif Flores untuk menyemangati masyarakat Desa Manubhara untuk turut serta memeriahkan acara festival video partisipatif di desa tersebut.  Menurut Dwitra J. Ariana, selaku fasilitator program video partisipatif ini, tujuan diadakannya festival video ini adalah agar karya-karya video warga desa bisa lebih mendapatkan apresiasi. “Setahu saya belum ada festival video seperti ini di Flores. Jadi, ini malah bisa dijadikan model jika pemerintah kabupaten ingin mengadakan festival serupa,” kata pria berambut gondrong tersebut.

Desa adat Bena, Aimere, masih kuat menanamkan tradisi, termasuk arsitektur rumah adatnya. (Firman Firdaus/National Geographic Indonesia)

Pria asal Bali yang akrab dipanggil Dadap ini menyatakan bahwa tayangan video lebih ampuh daripada kata-kata dalam berkomunikasi, karenanya media video dirasakan lebih efektif bagi warga yang ingin menyampaikan aspirasi mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Dari tiga kabupaten—Manggarai, Manggarai Timur, dan Ngada—pihak panitia menerima 57 video kiriman, yang kemudian dikerucutkan menjadi 12 nomine (finalis). Dari 12 finalis lalu ditentukan tiga pemenang.

Terpilih sebagai pemenang pertama adalah video buatan warga Manubhara mengenai anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang jumlahnya cukup signifikan di desa itu. Video dokumenter ini “diproduseri” oleh Regina Ugha, 38 tahun, seorang kader Posyandu Desa Manubhara. “Selama ini mereka kurang mendapat perhatian. Pernah dibawa ke dokter, tetapi malah tambah parah,” Regina menjelaskan alasannya memilih topik tersebut.

Menurut Ramses, ketua dewan juri, ada tiga aspek yang dinilai dalam festival video partisipatif ini, yakni kreativitas, partisipasi, dan pemberdayaan. “Paling mudah, lihat saja credit title di masing-masing video. Semakin banyak nama yang tercantum di situ, semakin tinggi tingkat partisipasi warganya,” katanya. Semua video dalam program ini memang dibuat oleh warga sendiri, dengan pen­dampingan oleh fasilitator.

Produk kopi dari Bajawa, Kab. Ngada, NTT, yang sudah terkenal hingga mancanegara, menjadi salah satu komoditas yang belum diberdayakan secara optimal. (Firman Firdaus/National Geographic Indonesia)

Beberapa desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) memang terpencil, bahkan ada yang sulit menemukan tempatnya di dalam peta. Masih banyak yang suaranya belum terdengar oleh pejabat desa yang bersangkutan; jalanan yang masih rusak, sarana pendidikan yang kurang memadai, atau akses menuju sarana kesehatan yang minim. Orang dari luar NTT lebih banyak tahu mengenai Labuanbajo, karena dekat dengan Pulau Komodo, atau Ende yang terkenal dengan Danau Kelimutu. Tetapi tidak banyak yang mengetahui Desa Ngabheo atau Desa Manubhara. Padahal, desa-desa tersebut menyimpan potensi yang tidak kalah dengan desa lainnya.

Kesulitan untuk mengungkapkan suara warga desa itu difasilitasi oleh Komunitas Kreatif, sebuah program pembinaan masyarakat desa yang memfasilitasi warga desa, agar dapat menyuarakan masalah yang mereka hadapi, dengan menggunakan media kreatif. Sebanyak 8 desa di Flores yang tersebar di 8 kecamatan dan 3 kabupaten terpilih untuk mengikuti program pemberdayaan ini.

Menurut Ramses, yang juga menjadi koordinator fasilitator program ini di Provinsi NTT, video partisipatif terpilih sebagai program pemberdayaan, karena memiliki kemampuan menangkap objek dan menyajikannya di layar, sehingga dianggap sebagai media penyampai informasi yang paling efektif bagi indra manusia.

Dalam ujar-ujar warga Manubhara, yang kini dipegang erat oleh masyarakat yang kian berdaya terhadap pemimpin desa mereka, video ngara modhe puu, ngia mazi rana (video lebih ampuh daripada kata-kata).