Kondisi Balai Budaya Jakarta di Jalan Gereja Theresia 47, Menteng, Jakarta Pusat semakin memprihatinkan. Tempat berkumpulnya seniman, budayawan, filsuf seluruh Indonesia pada era 1950-1970-an itu rusak parah. Setiap kali banjir, air menerobos ke dalam gedung. Platform bangunan jebol dan atap teras sayap kiri gedung nyaris ambruk dimakan umur.
Bagitu memasuki halaman Balai Budaya Jakarta (di bagian depan tetap tertulis ejaan lama Balai Budaja) terlihat atap teras sayap kiri gedung yang nyaris ambruk. Dua tiang kayu kecil dipasang seadanya untuk menopang atap gedung tua tersebut. Di setiap tiang tertempel kertas putih “Awas Roboh”.
“Baru kemarin tiang penyanggang dipasang. Atapnya hamper jebol, kasihan kalau nanti ada pengunjung tertimpa runtuhan,” ujar Kamida (64), penjaga Balai Budaya, di Jakarta, Senin (19/1).
Selain berulang kali terendam air, atap platfon Balai Budaya juga rusak parah. Hampir semua atapnya harus diikat kawat agar tak berjatuhan. Empat buah platfon terpaksa diganti kayu lapis karena lepas dari atap.
“Bulan lalu, dua pameran sempat tergenang banjir. Airnya sampai ke bagian tengah ruangan,” tambahnya.
Balai Budaya didirikan sejak 1954 oleh pemerintah dan kemudian dikelola Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Balai budaya menyimpan banyak peristiwa dan kisah bersejarah. Di sini, Manifesto Kebudayaan dicetuskan pada 1963. Di sini pula para seniman mulai memamerkan karyanya, seperti pelukis Affandi serta Nashar yang sempat tinggal di sayap kanan gedung. Bahkan majalah sastra legendaries Horison juga pernah berkantor di sayap kiri gedung.
Namun, setelah pengelolaan Balai Budaya di bawah pimpinan Hamsad Rangkuti bubar pada 1998, kegiatan yang tadinya ramai semakin sepi, dan hanya memajang koleksi yang sama seperti belasan tahun.
Kini, pelukis asal Surabaya Cak Kandar ditunjuk oleh beberapa seniman yang tergabung dalam Tim Lima untuk menjadi Kepala Pengelola Balai Budaya.