“Ingin ciotau karena adat,” ujar Cumei. “Bagi yang ciotau mungkin kelak kalau sudah meninggal bisa ketemu lagi dengan pasangan kita di sana.” Nama perempuan itu memang singkat dan meyakinkan, yang dalam bahasa Hokkian bermakna ‘adik perempuan terakhir’.
Dia menunjukkan rona bahagianya kepada saya. Tunik yang dikenakannya berwarna merah, kepalanya bermahkota konde kembang goyang, dengan wajah tersamar untaian tirai manik-manik. Kain bawahannya hijau berlanggam puspa dan burung phoenix. Ah, terlihat begitu cantik memesona!Cumei baru saja melakukan ciotau yang bermakna upacara ‘menjalin rambut ke atas’; sebuah ritual inisiasi perubahan sosok lajang menjadi pasangan menikah.
Ini merupakan tradisi Konghucu yang telah diadopsi sebagai bagian budaya Cina Benteng—dan berkelindan dengan budaya setempat seperti ancak sesajen dan beras kuning. “Tidak ada batasan kapan harus melaksanakan ciotau,” ujar Cumei, “yang penting sekali seumur hidup.”
Bong Kwet Fo atau yang akrab disapa Candra, sang mempelai lelaki, tampak gagah. Dia berbusana jubah hitam ala kaisar, bermahkota caping merah, dan membawa kipas lipat. “Saya asal Bangka, kerja di Jakarta,” ungkap Candra. “Di Bangka untuk adat upacara perkawinan hampir sama. Di sana juga ada ciotau tetapi sudah sangat jarang. Kalau di sini masih dilestarikan.”
Persiapan dilakukan selama tiga hari: hari bumbu, hari potong ayam dan rias bakal, dan puncaknya pada ciotau. Tradisi ini kian meluntur karena kian langkanya juru rias yang memahami tradisi ini, kepraktisan perhelatan gaya Barat, dan beralih kepercayaan.
Mereka menggelar ciotau di rumah orang tua Cumei pada September silam. Lokasinya di Desa Gunungsindur, Kabupaten Bogor. Lantaran tak jauh dari perbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, warga setempat lebih erat pertaliannya dengan Tangerang-Banten dalam hal ekonomi dan budaya.Dua sejoli itu bersanding dengan busana bak kaisar dan permaisuri Dinasti Qing atau Manchu, wangsa yang berkuasa pada 1644–1911 di Tiongkok. Uniknya, upacara yang telah punah di negeri asalnya ini masih lestari di Tangerang dan sekitarnya. Sementara di kota lain, upacara serupa nyaris atau sudah punah.
Saya pun bertanya, bagaimana cara mereka meneruskan tradisi Cina Benteng kepada anak-anak kelak. Selama masih ada meja abu di rumahnya, demikian menurut Cumei, masih ada harapan untuk mengikat tradisi keluarga. Sembari menerawang dia berujar, “Di situlah aku bisa mengajarkan tradisi, kepercayaan, dan menghormati leluhur.”