Buih-buih ombak putih menggelora saat perahu cepat membelah perairan Ambon. Tujuan kami, Negeri Oma di Pulau Haruku — kampung halaman ibu saya.
Oma, negeri atau kampung tertua dari 11 negeri yang ada di Pulau Haruku. Negeri-negeri lainnya, Haruku, Sameth, Kariu, Hulaliu, Aboru, Wasu, Rohomoni, Kabau, Kailolo, dan Pelauw. Negeri ini masih menjalankan tradisi terun-temurun. Wilayah Oma terbagi dua, Negeri Lama dan Kampung Baru.
Belasan tahun lalu, saya pernah datang ke rumah tua Tete Nyong, opa saya. Dulu, rumah ini menjadi tempat penyimpanan barang-barang tua milik negeri. “Ada tombak, parang, perhiasan, dan banyak lagi. Dulu, ada dua peti punya negeri,” kata Om Yari Pattinama.
Sayangnya, sebagian barang telah lenyap. “Seng (tidak) tahu di mana. Hanya sedikit yang tersisa.”
Ironi ini membuat hari saya panas. Es pisang ijo yang disajikan Tante Mia Patty ampuh mendinginkan kerongkongan sekaligus hati saya.
Saya terus mengeksplorasi Negeri Oma. Satu hal yang saya kagumi dari Oma adalah kebiasaan warga menjaga kebersihan yang membuat wajah Oma kian cantik. Setidaknya ada tiga sumber air panas bersuhu 62 derajat celcius.
Sungai air panas dan air dingin menyatu pada satu titik aliran sungai di Sila. Hmm... nyaman rasanya berendam dalam hangatnya air sungai yang bening.
Sebuah kemewahan kampung yang tidak akan pernah bisa dibeli oleh kemewahan imitasi kota besar. Dan hati kami tertinggal di tempat elok berbataskan laut banda. Sio e...