Perdagangan Ilegal Paruh Enggang Meluas dan Tambah Masif

By , Rabu, 28 Januari 2015 | 18:30 WIB

Peningkatan tindak kriminal perdagangan internasional gading gajah dan cula badak makin marak sebagai berita utama dalam beberapa tahun terakhir.

Ada pula eksploitasi dan perdagangan ilegal produk-produk maupun organ tubuh satwa berstatus terancam punah, yang tak terlalu diketahui. Padahal, di pasar gelap harganya bisa mencapai lima kali lipat daripada gading.

Baru-baru ini, Environmental Investigation Agency (EIA), sebuah lembaga yang berbasis di London, Inggris, melalui laporan investigasinya mengungkap perburuan dan perdagangan satwa liar: yang terkini—burung enggang atau rangkong.

Menurut lansiran itu EIA telah memantau perdagangan gading dan cula badak selama dua dekade terakhir, dari mulai mengumpulkan informasi dari para pedagang dan penadah di Afrika dan Asia, hingga memonitor perdagangan secara online yang tumbuh subur. Mereka akhirnya mampu memecahkan kode sandi yang dipakai dalam komunikasi antara para pedagang online, seperti 'black' (hitam) untuk menyebut cula badak dan 'white' (putih) untuk gading.

Selain itu, tahun-tahun terakhir ini, terdapat penyebutan kode warna lain yang jadi santer yakni 'red' — yang merepresentasikan enggang. Kode 'red' diambil dari namanya dalam Mandarin, hedinghong (hong = merah).

Jadi ukiran

Permintaan terbesar paruh enggang berasal dari Tiongkok. Paruh enggang dipasarkan dan diproses lewat industri pahatan atau ukiran-ukiran cina yang tersebar di Tiongkok.

Contoh pahatan dari paruh enggang untuk dijual online (Dok. EIA)

Paruh enggang banyaknya dijadikan produk perhiasan dan ornamen dekoratif yang dijual di toko-toko mahal. Harganya pun tak kurang RMB40 (sekitar Rp80.000) per gram.

Dengan produk semakin laris atau dicari konsumen di pasaran, nasib enggang kian mengkhawatirkan.

Populasi burung enggang atau julang sudah mengalami penurunan signifikan akibat hilangnya habitat serta perburuan liar. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) memasukkan spesies ini dalam daftar Appendix I sejak 1975.

Sayang meski statusnya terancam menuju kepunahan, sangat sedikit tindakan yang diambil untuk langkah konservasi spesies.

Penyelidik EIA yang secara rahasia mengawasi perdangan, tetapi namanya disembunyikan demi alasan keamanan, menambahkan, "Satu hal yang pasti, di samping produk-produk 'black' dan 'white', jumlah produk 'red' telah meluas serta semakin masif beberapa tahun belakangan, dan ini menjadi suatu alarm akan keberlangsungan para burung agung, enggang."