Suka-duka Hidup Bersama Banjir di Wilayah "Kepala Naga"

By , Selasa, 27 Januari 2015 | 20:09 WIB

Bahwa Kelapa Gading adalah daerah rawan banjir, memang sudah "dari sono"-nya. Wilayah tempat bermukimnya 5% dari penduduk DKI dan 20% penduduk Jakarta Utara ini ini memang berada di daerah yang rendah. Seperti tetangganya di Jakarta Utara, letaknya hanya 0 – 2 meter dari permukaan laut.

Tetapi ketika salah satu pengembang berhasil memasarkan sebagian wilayahnya yang "anti-banjir" sekitar tiga puluh tahun lalu, dengan cara meninggikan permukaan tanah sebelum membangun bangunan di atasnya, ada sebagian wilayah di Kelapa Gading yang kemudian "bebas banjir". Atau demikianlah yang kami pahami saat itu. Lewat fasilitasi kredit perumahan, kami membeli sepetak rumah dengan luas tanah 75 meter persegi seharga Rp18 juta. Lama cicilan 11 tahun dan kami masih mendapatkan bonus perabot rumah tangga senilai Rp1,5 juta. Itulah rumah pertama kami. (Pada saat ini rumah dengan kondisi sama ditawarkan Rp2,25 miliar.)

Delapan belas tahun kemudian, pada tahun 2002, kami mengalami banjir untuk pertama kalinya. Meskipun banjir tak sampai memasuki rumah, listrik dan aliran air sempat mati, dan bersama dengan kedua hal itu kami mati gaya pula. Begitu banjir reda, salah satu hal pertama yang kami kerjakan adalah membeli generator.

!break!

Dari generator sampai perahu karet

Generator ini sangat bermanfaat waktu terjadi lagi banjir berikutnya di daerah kami tiga tahun kemudian. Yang terpenting, semua orang dapat mengisi baterai telepon seluler masing-masing. Mesin pembangkit listrik memang bagus dalam ide tapi sungguh, neraka dalam kenyataan. Setiap kali ia dihidupkan, segala hal dramatis di luar serasa jadi redup. Dari pipa knalpotnya keluar asap hitam. Suaranya ... alamaak, saya yakin tak kalah keras dengan konser musik rock yang paling bising, dengan melodi yang membosankan.

Kami bahkan membeli perangkat-perangkat lain termasuk perahu karet!

Teman kami, sebut saja Adi dan Lena, yang rumahnya ada di kawasan rendah sampai mengungsi ke hotel. Teman-teman yang lain mengungsi ke rumah famili. Ketika banjir mereda, keluarga itu harus merelakan perabot tempat tidur mereka yang rusak habis. Juga banyak barang-barang lain yang terhanyut selama mereka meninggalkan rumah. Pesan yang tersampaikan: "Mengungsi saat rumah kebanjiran sama saja dengan menyerah-pasrahkan nasib isi rumahmu kepada air."

Tiga tahun kemudian, banjir terjadi sampai sekitar seminggu. Beberapa teman mengungsi ke rumah kami, karena tinggi air di dalam rumah sepaha, sementara di daerah kami air tak sampai masuk ke dalam rumah. Begitulah, ada sekitar sepuluh orang dari dua keluarga tidur di ruang keluarga kami. Setiap hari mereka bertukar laporan tentang kondisi rumah mereka.

"Kulkasku sudah mengambang," kata Tine dengan senyum kecut.

"Sofaku hancur," kata yang lain.

Karena hujan terus turun, kami harus mengganjal ban mobil supaya air tak sampai masuk ke knalpot. Beramai-ramai para lelaki mengangkat mobil dan meletakkan beberapa batu beton di bawah ban. Berdiri di carport kami saat itu, serasa berdiri di tepi sungai. Tepian "sungai" sesekali menyeruak berkecipak setiap kali ada orang lewat atau kendaraan lewat. Kecuali pemandangan carport, seandainya saya duduk dan mencuci pakaian di situ pun, saya bisa membayangkan sedang berada di tepi sungai di pedesaan.

!break!

"Keranjang" yang mengapung

Karena banjir berlangsung sampai berhari-hari, soal logistik menjadi penting. Kami mempunyai satu faktor lagi selain kelezatan makanan dalam menilai kehebatan restoran. Kalau mereka tetap bisa buka dalam situasi banjir, kami memberi mereka "A". Salah satu restoran sudah mendapat nilai "A" berkali-kali setiap kali Kelapa Gading banjir, sehingga andaikan mereka siswa, mereka pasti sudah lulus dengan cum laude.

Ibu-ibu yang masih bisa memasak di rumahnya tak kesulitan mendapatkan pasokan bahan mentah di pasar. Waktu itu para pedagang sayuran dan bahan mentah di pasar kami bekerja sana menyewa truk untuk menembus banjir dan tetap berjualan. Tentu dengan "harga banjir". Pada hari ketiga, air yang setinggi paha di depan rumah saya, mengalir kencang seperti air sungai. Lalu-lintasnya cukup ramai. Selain benda-benda yang hanyut (antara lain, album foto, pampers bayi, kasur busa), asisten rumah tangga lewat untuk berbelanja ke pasar. Mereka berjalan di dalam air, tanpa tas belanja. Cukup sebuah ember yang diapungkan di depannya dan didorong dengan perut.

Membeli tabung gas saat banjir ternyata juga lebih mudah. Tak perlu berat-berat mengangkut, tinggal diapungkan. Warga Kelapa Gading menggunakan segala macam sarana untuk tetap melakukan kegiatan dalam banjir. Kalau perlu meminjam perahu karet berbentuk bebek milik anak atau cucunya, yang ia naiki dan ditarik oleh orang lain, ke tempat warung pedagang sayuran di tepi jalan. Gayanya saat turun dari bebek-bebekan itu tak jauh dari seorang ratu yang turun dari kereta kencana!

!break!

Tamu tak diundang

Saat paling menyenangkan bagi saya adalah ketika saya berdiri di balkon memandang ke ladang yang luasnya 6.000 meter persegi di depan rumah kami. Ladang itu berubah menjadi danau. Karena kini di atas lahan tersebut sudah berdiri bangunan fasilitas yang besar dan tinggi, bagi saya sebuah danau di depan rumah itu salah satu kenangan yang sungguh-sungguh manis. Bayangkanlah: berhubung lalu-lintas lumpuh dan aliran listrik dimatikan oleh PLN, kami terbebas dari suara mesin apa pun dan deru kendaraan bermotor. Yang ada hanya suara kodok bersahut-sahutan di "danau" kagetan kami itu.

Suatu hari terjadi kegaduhan di carport, di mana mobil kami nangkring di atas bata beton. Anak-anak kami mendapat tamu kejutan. Ada seekor ikan arawana nyasar melompat lewat pagar ke dalam pekarangan kami yang waktu itu tergenang air setinggi betis. Arwana yang malang itu dengan sigap menyelamatkan diri dari tangan-tangan cilik anak-anak saya yang menguber dia seperti di kolam mandi bola. Cukup sering ikan besar terlihat berenang melewati pekarangan kami. Mungkin ikan-ikan ini stok restoran seafood yang memang banyak di kelapa Gading. Akhirnya, anak-anak saya mendapatkan juga beberapa ekor ikan kecil yang lalu mereka pelihara.

Setelah dua banjir besar itu, sejalan dengan pembangunan properti (mal-mal, kompleks perumahan) yang sangat agresif, banjir berkunjung setiap tahun.

Setiap kali banjir, keluarga-keluarga memikirkan ide baru untuk memperbaiki prasarana rumah agar lebih siap untuk banjir berikutnya. Ada keluarga yang membuat sistem instalasi air minumnya sedemikian rupa, sehingga saat banjir mereka tetap bisa mendapatkan air ledeng yang bening tak tercemar. Yang punya dana lebih, mengumpulkannya dan merenovasi rumah mereka: meninggikan lantai paling tidak satu meter, membangun rumah menjadi bertingkat, paling tidak dua, kadang tiga, bahkan empat tingkat. Carport dibuat semakin tinggi, sampai mengalahkan pertimbangan estetika. Belum lagi dibutuhkan pula kepiawaian sopir yang semakin tinggi untuk memarkir kendaraan sambil mundur, menanjak, berbelok, dan di ruang yang sempit.

!break!

Ada beberapa tempat favorit untuk menyelamatkan mobil saat banjir mengancam; salah satunya tempat parkir di mal-mal, gedung fasilitas umum yang tanahnya tinggi, juga apartemen. orang-orrang yang punya lahan sempit, tak menunggu banjir tiba. Anstisipasi menjadi kata kunci.

Yang tidak mampu membangun, menemukan cara untuk bertahan. Ada seorang teman, yang bahkan saat banjir yang terhebat pun tidak menunjukkan ekspresi kesal atau resah. Pada saat ia tak bisa masuk kantor, ia melewatkan waktu duduk di tepi jalan besar, menonton suasana. Ada saatnya, banjir menjadi semacam objek wisata. Bahkan oleh si korban sendiri: mengungsi di atas truk sambil mengarahkan ponsel atau kamera ke pemandangan banjir.

Barangkali Kelapa Gading satu-satunya wilayah banjir yang tetap menarik investor. Menurut survei Rumah123.com tahun lalu, Kelapa Gading menempati ranking keempat dari 10 wilayah di Jakarta yang paling diinginkan oleh pasar properti di Jakarta (baca di sini). Bahkan sampai hari ini, seperti dilaporkan oleh Kompas.com, wilayah ini masih tetap berjaya. (Baca di sini).

Orang mengatakan, selain pertimbangan profit, ada faktor prestise ketika orang menginginkan properti di wilayah "kepala naga" ini. Tetapi bagi banyak pemukim di dalamnya, Kelapa Gading lebih dari sekadar wilayah yang menguntungkan. Di sana mereka mengasah ketangguhan untuk hidup,