Moratorium izin baru bisnis kehutanan yang berakhir Mei 2015 diharapkan diperpanjang. Selain memberi waktu perbaikan tata kelola kehutanan dan lahan, kebijakan itu bisa untuk meninjau praktik izin-izin perkebunan yang kerap berdampak buruk.
“Semua pemberian izin seharusnya diberhentikan dulu karena praktik izin-izin perkebunan sekarang saja tidak bisa dikelola, kata Sri Palupi, peneliti The Institute for Ecosoc Right, Jumat (30/1), di Jakarta. Moratorium izin baru di hutan primer dan gambut dimulai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 dan berakhir Mei 2015.
Palupi menyebutkan, praktik industri perkebunan sawit sangat masif berekspansi. Dalam 15 tahun terakhir, perkebunan meluas 9 juta hektar dengan produksi 31 juta ton minyak sawit mentah.
Kajian Ecosoc Right di Kalimantan Tengah pada buku berjudul Industri Perkebunan Sawit dan Hak Asasi Manusia yang dibahas Selasa lalu mengungkapkan, dari 496 unit usaha perkebunan, 300 unit usaha yang beroperasi. Dari jumlah itu, hanya 85 unit usaha yang memenuhi aspek legal (clean and clear).
Tak mengherankan, lanjutnya, karut-marut perizinan menimbulkan tumpang tindih lahan. Ia mencontohkan, total perizinan perkebunan dan tambang di Barito Utara 1,4 juta hektar atau hampir dua kali lipat dari luas kabupaten (830.000 hektar).
Kondisi itu diperparah lemahnya prakitk pengawasan pemerintah. Nasyarakat adat dan lokal yang minim pengakuan legal atas lahannya dikalahkan perusahaan yang bermodal izin konsesi.
Palupi menuturkan, 80 persen warga di beberapa wilayah kehilangan lahan garapan. Lahan yang hilang 40-70 persen dari luasan sebelum diambil alih perusahaan sawit.
Penyerbotan tanah oleh korporasi dan industri memicu kemunculan ratusan konflik tenurial saat masyarakat melawan. Konflik terjadi antarmasyarakat ataupun masyarakat dengan perusahaan yang dilindungi aparat keamanan.
Dari sisi kesejahteraan buruh perkebunan, kata Palupi, kondisinya mengenaskan, mulai dari status buruh lepas bertahun-tahun hingga upah tak manusiawi. Ia menemukan buruh hanya dibayar sekitar Rp60.000 jika memanen 120 jonjong atau tandan sawit. “Kalau tidak sampai 120 jonjong, hanya dibayar Rp 400 tiap jonjongnya,” katanya.
Secara terpisah, mantan Deputi Operasi Badan Pengelola REDD+ William Sabandar sangat mendukung moratorium izin baru kehutanan dilanjutkan. Hasil audit kepatuhan kebakaran hutan dan lahan di Riau tahun lalu yang sering dikaitan dengan konflik antara masyarakat dan perusahaan juga menunjukkan, pemerintah daerah minim pengawasan izin-izin perkebunan dan kehutanan.
(Baca juga: BP-REDD+ dan DNPI Dibubarkan)
“Lengkapi moratorium dengan instrumen pengawasan dan penegakan hukum. Selama ini tidak ada sanksi kepada pelanggar,” katanya. Pengawasan dan penegakan hukum juga turut menjamin hak-hak pekerja perkebunan dipenuhi.