Menemukan Kisah <I>History of Java</I> di Singapura

By , Senin, 2 Februari 2015 | 12:04 WIB

Sejarah yang biasa diungkapkan lewat catatan kata-kata hidup kembali dengan sapuan kuas. Maka, masyarakat Jawa lebih dari seratus tahun lalu dalam History of Java pun ”berkeliaran” dalam kanvas reimaji Jimmy Ong (51). Kisah masa lalu itu bertemu dengan kekinian di bekas barak tentara koloni Inggris tahun 1936, di Singapura.

Seniman kontemporer Singapura, Jimmy Ong, terinspirasi buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles. Buku itu pula yang membawanya ke Jawa Tengah.

”Beberapa kali saya mengunjungi Candi Borobudur, dan hidup di tengah masyarakat Yogyakarta. Lalu, saya melukiskannya sebagai reimaji suasana seperti diceritakan Raffles melalui karya bukunya, History of Java,” kata Jimmy, Rabu (21/1) di Galeri Fost, lokasi pameran yang bertempat di salah satu bangunan di Barak Gillman, Singapura.

Karya-karya lukisannya yang membayangkan ulang masa lalu itu ikut ditampilkan dalam Pekan Seni Singapore (Singapore Art Week). Rangkaian pamerannya dikemas dalam tema ”Where Art Meets History” (Pertemuan Seni dengan Sejarah). Pameran History of Java karya Jimmy Ong dibuka 16 Januari hingga 1 Maret 2015.

Galeri Fost yang menggunakan bangunan bekas barak tentara Inggris itu tidak lapang. Belasan karya Jimmy disajikan. Di antaranya, lukisan arang di atas kertas berjudul ”Mapping Boro Budur”, berukuran 128 x 320 sentimeter.

Lukisannya, ”Mapping Boro Budur”, memperlihatkan suasana masyarakat laki-laki dan perempuan Jawa yang guyub bekerja. Hewan piaraan ayam dan kambing dilukis Jimmy ada di mana-mana. Candi Borobudur dijadikan latar belakang suasana harmoni masyarakat Jawa.

Jimmy juga melukiskan sosok yang tertidur menyamping, menghadap ke arah candi. Mungkin itu mengingatkannya pada postur Patung Buddha Tidur. Hitam-putih arang (charcoal) di atas kertas menjadi ciri khas Jimmy.

”Lukisan-lukisan lainnya juga hasil reimaji History of Java. Ada lukisan tentang Tamansari dan Keraton Yogyakarta. Ada perburuan macan dan banteng di Jawa, juga video seni tentang makam Imogiri di Yogyakarta,” tutur Jimmy.

Selama membuat karya-karya lukis reimaji History of Java, Jimmy tinggal di Yogyakarta. Dia membuat studio di Mangkuyudan pada tahun 2014.!break!

ImogiriJimmy beralih menunjukkan dua layar televisi. Salah satu televisi memutarkan rekaman suasana Astana Imogiri, makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta.

Makam Imogiri dibangun Sultan Agung, Raja Mataram III pada 1645. Jimmy menunjukkan bagian penting di dalam adegan videonya.

Sejenak ketika mengikuti adegan yang ditunjukkan Jimmy, tampak adegan penutur berbahasa Jawa mengisahkan jasad seorang pengkhianat Raja Sultan Agung bernama Tumenggung Endranata yang dipotong tiga.

Setiap potongan tubuh Endranata dikuburkan terpisah. Bagian kepalanya dikubur di bawah gapura, badannya dikubur di bawah anak tangga, dan kakinya dikubur di bawah kolam.

”Tindakan ini untuk memberi peringatan keras bagi pengkhianat raja,” kata penutur berbahasa Jawa di dalam video itu.

Tumenggung Endranata diketahui membocorkan strategi penyerangan kedua Sultan Agung ke Batavia pada 1629. Di antaranya, membocorkan strategi membangun lumbung-lumbung pangan di Karawang dan Cirebon sehingga lumpung pangan dihancurkan Hindia Belanda. Serangan pasukan Sultan Agung dari Mataram (Yogyakarta) ke Batavia akhirnya dilumpuhkan.

”Saya tidak bisa berbahasa Jawa. Namun, banyak dibantu teman-teman dari Yogyakarta untuk memahami cerita berbahasa Jawa, terutama hal-hal terkait yang dikisahkan di dalam History of Java,” kata Jimmy.!break!

Barak tuaTempat Jimmy Ong memajang karya-karyanya, Barak Gillman, menguatkan kesan pertemuan sejarah dengan seni. Barak Gillman dibangun Jenderal Sir Webb Gillman (petinggi militer Inggris) untuk tujuan ekspansi militer Inggris di Singapura tahun 1936. Rentang waktu hingga 1990 barak ini dikuasai institusi militer Singapura.

Mulai tahun 1990 terjadi peralihan fungsi kemiliteran menjadi fungsi komersial. Pada 1996 dikenalkan sebagai Gillman Village. Pada 2010, nama Gillman Village dikembalikan ke nama semula, Barak Gillman. Barak itu kemudian direnovasi.

Pada September 2012, Barak Gillman diluncurkan sebagai Pusat Seni Kontemporer Singapura. Barak seluas 6,4 hektar dengan 14 bangunan bekas barak tentara Inggris itu kini digunakan untuk 17 galeri internasional. Beberapa di antaranya, Galeri Arndt (Jerman), The Drawing Room (Filipina), Equator Art Projects, Fost (Singapura), Future Perfect, Michael Janssen (Singapura), Mizuma, Ota Fine Arts, Partners & Mucciaccia, Pearl Lam, ShanghART, Silverlens, Space Cottonseed, Sundaram Tagore, Tomio Koyama (Jepang), Yavuz, dan Yeo Workshop. Barak Gillman kini tertata sangat rapi dan menarik dikunjungi wisatawan dengan suguhan karya-karya seni yang dipamerkan.

Penggunaan Barak Gillman sebagai warisan sejarah masa kolonial Inggris di Singapura sebagai galeri seni dapat menjadi inspirasi menarik bagi Indonesia. Selama ini, sejumlah tempat bersejarah di Indonesia, baik dari masa peradaban Hindu kuno sampai kolonialisasi Hindia Belanda, kurang terawat dan tidak berfungsi optimal.!break!

Sejarah seniDi barak itu pula generasi muda dapat belajar sejarah seni. ”Tantangan bagi kita sekarang, generasi muda tidak lagi menyukai museum untuk belajar tentang sejarah seni,” kata pendiri Singapore Pinacotheque de Paris, Marc Restellini, salah satu galeri internasional. Marc lalu menunjukkan tiga lukisan legendaris karya para maestro Chaim Soutine, Amedeo Modigliani, dan Jackson Pollock kepada sejumlah jurnalis asing.

Singapore Pinacotheque de Paris masih tahap persiapan dan dijadwalkan buka pada Mei 2015. Galeri itu merupakan bagian dari hasil ekspansi Pinacotheque, museum karya seni lukis di Paris, Perancis, yang dikelola swasta sejak 2003.