Tepat setahun lalu, 13 Februari 2014, Gunung Kelud meletus dengan dahsyat. Memuntahkan 150 juta meter kubik material batu, pasir, dan abu vulkanik.
Letusan menjulang ke angkasa hingga 17 km. Abu vulkanik menutup sebagian besar wilayah Jawa.
Sekitar 180.000 jiwa masyarakat Kediri, Malang dan Blitar berhasil dievakuasi dalam waktu kurang dari 2 jam yaitu pukul 21.15 hingga 22.50 WIB. Tak ada korban jiwa. Evakuasi dengan tertib dan lancar. Pascabencana pun berlangsung kurang dari setahun sehingga kondisi normal kembali.
Mengapa masyarakat Kelud tangguh?
Pemerintah dan otoritas setempat jauh lebih siap menghadapi letusan 2014 dibanding pada 2007. Masyarakat telah bersiap menghadapi letusan jauh hari sebelumnya.
Camat, kepala desa, tokoh masyarakat, TNI, Polri, relawan, dan pengamat gunung api sama-sama bekerja memastikan masyarakat mengetahui apa makna informasi status gunung yang disampaikan secara berkala dan apa yang harus dilakukan pada setiap situasi.
Pada 28 Desember 2014, gladi lapang evakuasi di tiga desa KRB III di Ngancar. Gladi ini disiarkan langsung oleh RAPI dan radio-radio komunitas ke tiga kabupaten. Informasi mengalir dari satu sumber melalui satu saluran yang disiapkan khusus. Masyarakat pun bisa menerima informasi secara satu makna, satu tafsir, tunggal.
"Respon bencana Kelud juga menampilkan kekuatan kultural masyarakat. Masyarakat Kelud pada dasarnya adalah masyarakat Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai seperti hormat dan harmoni," ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
"Hormat dimaknai sebagai memberi respek kepada peran setiap orang dan sebaliknya menjalankan peran yang diberikan dengan setia dan disiplin. Harmoni diartikan menjaga keselarasan dengan alam dan manusia, di mana setiap orang adalah mikrokosmos yang berperan memelihara harmoni dunia makrokosmos. Pentingnya hidup bersama alam. Orangtua percaya, abu Kelud adalah warisan kesuburan bagi anak cucu kelak," ujarnya.