"Adalah pada waktu di tengah malam. Meletuplah bunyi seperti meriam. Habislah terkejut sekalian alam. Serasa dunia bagaikan karam," demikian petikan syair adikarya Khatib Lukman pada 1819. Di bait-bait berikutnya, dia mengungkapkan, "Abu yang turun sebagai ribut. Rupanya alam kelam kabut. Datanglah banjir mudik dari laut. Terdampar ke darat perahu hanyut."
Kesenyapan ribuan tahun itu pun pecah kira-kira setelah mentari tergelincir pada Rabu, 5 April 1815. Gunung Tambora yang berada di semenanjung Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, bererupsi dengan bahana yang luar biasa. Lima hari berikutnya, gelegar dan guncangan terhebat sepanjang masa pun mendera.
Gelegar itu menandai ambruknya sepertiga badannya. Sebelum erupsi besar ini, Tambora merupakan gunung api tertinggi se-Asia Tenggara. Kini, tingginya terpangkas menjadi hanya sekitar 2.850 meter dari permukaan laut.
Asap aerosolnya membumbung mencapai lebih dari 43 kilometer, meracuni lapisan stratosfer Bumi. Sekitar 12.000 warga yang menghuni pinggangnya, binasa dalam sehari pascaletusan pertamanya. Menurut perkiraan sejarawan, total korban jiwa sekitar 117.000 orang yang tinggal di Sumbawa, Lombok, dan Bali. Selama lima tahun ladang-ladang tak bisa digarap sehingga terbitlah bencana kelaparan. Peristiwa terhebat sepanjang sejarah ingatan manusia!
Smithsonian Museum of Natural History menempatkan Tambora sebagai gunung berapi dengan Indeks Letusan Gunung Berapi (VEI) tertinggi dalam dua ribu tahun terakhir, yakni 7. Berikutnya, indeks 6 disandang oleh Huaynaputina (Peru-1600), Krakatau (Indonesia-1883), Santa Maria (Guatemala-1902), dan Pinatubo (Filipina-1991). Kemudian Vesuvius (Italia-79) dan Mount St. Helens (Amerika Serikat-1980) berada pada indeks 5.
Tambora telah menjalani takdirnya sebagai sebuah petaka yang sempurna. Gunung itu tak hanya menghadirkan petaka dari dasar bumi, tetapi juga tsunami dari lautan yang turut teraduk. Baru beberapa dekade belakangan ini, para ahli vulkanologi dan ahli meteorologi sepakat bahwa petaka Tambora telah menjadi biang lenyapnya musim panas di Eropa dan Amerika Utara pada tahun berikutnya.
Lenyapnya musim panas pada 1816, telah mengakibatkan kegagalan panen, wabah penyakit, dan kematian manusia. Namun, setiap bencana selalu membawa hikmah. Seorang penulis asal Inggris justru terinspirasi kelamnya cuaca, dan berhasil menerbitkan novel Frankenstein. Juga, seorang Jerman yang menciptakan alat transportasi pengganti kuda yang kini kita kenal dengan julukan sepeda. Dunia membungkus semua kenangan itu sebagai 'Year Without A Summer'.
!break!
Tahun ini, tepat dua abad peristiwa letusan gunung terdahsyat dalam sejarah. National Geographic Indonesia memperingatinya dalam "Ekspedisi 200 Tahun Gelegar Tambora". Penjelajahan ini juga bertepatan dengan perayaan sepuluh tahun kehadiran majalah National Geographic Indonesia. Berawal dari Kota Bima, pusat denyut Sumbawa, kami menyusuri dua jalur penjelajahan: Rute Pesisir Selatan dan Rute Pesisir Utara. Tujuannya, mendapatkan pengalaman mencecapi budaya dan citarasa perjalanan yang berbeda.
Lewat naskah koleksi Kesultanan Bima, beserta penelitian arkeologi dan geologi; kami berupaya menyingkap kembali peradaban semasa yang telah tersungkur bencana, dan menalikannya dengan kearifan sejati di negeri rawan bencana ini.
Indonesia merupakan negeri yang terbentang karena untaian gunung-gunung berapinya. Di sinilah gunung api dan manusia berkelindan dalam sebuah kebudayaan. Leluhur kita memberi teladan untuk selalu menghormati dan mengakrabi gunung dalam berbagai simbol kehidupan. Mereka menyadari bahwa gunung api telah bersemayam di Bumi ini jauh sebelum keberadaan mereka di sini. Apakah kita masih mewarisi kejeniusan sang leluhur?
"Dengarkan tuan ikat-ikatan. Dikarang oleh Khatib Lukman. Tempat menaruh peringatan. Supaya ada akan jadi zaman." Barangkali sang khatib pun tak menyangka bahwa syairnya telah mengundang kami untuk menyelisik kepingan-kepingan peradaban Tambora.