Dalam Saput Kabut Kelud

By , Senin, 16 Februari 2015 | 08:00 WIB

Setahun yang lalu, warga kabupaten Kediri, Blitar dan Malang harus memberikan ruangnya untuk gunung yang mempunyai ketinggian 1.731 meter dari permukaan laut ini, kembali bangun. Setelah tujuh tahun dalam tidurnya, Gunung Kelud beraktivitas lagi. Tepat di tanggal 13 Februari 2014 pukul 22.50 WIB.

Malam itu, naiknya status dari siaga menjadi awas, berlangsung dengan cepat. Dentuman erupsi diwarnai dengan kilatan petir dan hujan abu, menambah kepanikan warga lereng Kelud yang mencari tempat aman. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan radius aman minimal lima belas kilometer dari kawah Kelud.

Dahsyatnya erupsi Kelud saat itu, menghancurkan struktur kubah lava yang terbentuk saat erupsi efusif tahun 2007. Erupsi Kelud kali ini bersifat eksplosif. Lontaran material mencapai ketinggian hingga tujuh belas kilometer. Dampaknya pun nyata, hujan abu menyelimuti sebagian wilayah pulau Jawa.

Tentu ada ancaman ketika erupsi Kelud mereda. Ancaman yang mengintai sewaktu-waktu dan tanpa bisa diprediksi, yaitu banjir lahar hujan.

Seorang anak laki-laki di antara reruntuhan rumah di desa Pandansari, Ngantang, Malang, Jawa Timur, 16 Februari 2014. Sekitar ratusan rumah roboh akibat abu vulkanik yang dikeluarkan karena erupsi Gunung Kelud kemarin lusa. (Dwi Oblo)

!break!

Salah satu kecamatan yang parah didera erupsi Kelud, adalah Desa Lahar Pang, kecamatan Puncu. Nama Lahar Pang mempunyai arti belahan aliran lahar yang menjadi identifikasi erupsi Kelud di masa lalu. Erupsi kali ini, merusak semua bangunan rumah akibat lontaran material, di desa yang hanya berjarak lima kilometer dari puncak Kelud.

"Yang membuat sedih Lihat rumah-rumah hancur kayak gini terus waktu pulang terus neduh dimana gitu. Bingung," ungkap Ponidi salah satu warga Puncu.

Daerah yang juga terkena dampak destruktif erupsi Kelud adalah desa Pandan Sari di kecamatan Ngantang, kabupaten Malang. Sebagian besar rumah rusak parah. Topografi dengan kontur perbukitan, membuat warga Pandan Sari sempat mengalami kesulitan saat evakuasi. Bahkan, terjangan lahar hujan mengakibatkan putusnya akses menuju desa yang terdiri tujuh dusun itu, yaitu dusun Munjung, Sedawung, Sambirejo, Mbales, Plumpang, Wonorejo dan Klangon.

Tidak jauh dari area parkir, sebuah terowongan menyediakan akses langsung menuju kawah Gunung Kelud. Foto diambil pada tahun 2011 (Alex Pangestu/National Geographic Indonesia)

Tanggap pada bencana telah lama diinisiasi melalui berbagai kegiatan warga, khususnya yang tinggal dalam radius kawasan rawan bencana. Kondisi tanggap bencana yang telah berlangung cukup lama dan intens di masyarakat, terbukti ketika erupsi Kelud tahun 2014, sangat minim jatuh korban sebagai akibat langsung dari erupsi.

"Pengungsi untuk 2014 ini, kami jauh-jauh hari sudah mengkondisikan masyarakat tanggap terhadap bencana artinya mereka paham akan tatkala dinaikkan statusnya menjadi waspada harus gimana siaga harus bagaimana begitu awas juga mereka sudah tahu mereka harus mengungsi," ujar Choirul Huda, kepala pos pemantau Gunung Kelud.

Erupsi Kelud telah setahun berlalu. Warga kembali merajut hari ke hari, dalam kondisi alam yang tidak mudah ditebak. Bahaya memang akan terus mengancam bagi siapa saja yang tinggal di lereng Kelud. Namun, manusia justru hidup bergantung dengan adanya gunung berapi. Ketika memtuskan untuk hidup berdampingan dengan alam, tentunya manusia harus bisa berdamai dan mampu membaca alam.