Mencecapi Rasa Seruas Marga Sang Bima

By , Senin, 16 Februari 2015 | 08:45 WIB

Kendaraan yang dikemudikan Muhammad Fauzi melaju kencang di tepian timur hinggga tepian barat Teluk Bima. Kondisi jalan raya di Kota Bima boleh dikata mulus, tanpa lubang. Namun, ketika hujan besar, beberapa ruas jalan menyambut kami dengan genangan air, seperti situasi sore pada Sabtu, 14 Februari 2015 di Kampung Melayu, Bima.

Pada Minggu 15 Februari 2015, Tim Rute Utara mencoba menyusuri kondisi jalan di sisi barat Teluk Bima. Kami singgah di beberapa desa seperti Dusun Bajo, sebuah pelabuhan kecil yang menghadap Pulau Kambing. Kemudian berlanjut ke Benteng Asa Kota di Dusun Lia. Jalanan mulai menanjak dan berliku bak mencumbui bukit-bukit tepian Teluk Bima.

Jalan raya sepanjang tepian Teluk Bima yang mulus tanpa cela. Jalan di dalam kota umumnya dalam kondisi baik. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Ujung jalan aspal terakhir berada setelah situs Wadu Pa’a, pahatan di tebing sebuah teluk yang menampilkan seni pahat masa klasik di Dusun Sowa. Setelah itu jalan berganti marga tanah yang rentan jebakan apabila dilalui saat musim hujan.

Dalam perjalanan menuju Desa Sai, kami melewati setidaknya dua ruas jalan yang dibelah sungai musiman. Aliran sungai itu memotong jalan hanya ketika pada musim hujan. Pengemudi harus berhati-hati lantaran kendaraan bisa terjebak dalam genangan lumpur.

Meskipun jalanan tidak layak ketika musim hujan, pesisir utara menawarkan pemandangan pantai dan pesona hamparan ladang padi, seperti ruas Sowa dan Sai. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Kami menempuh perjalanan dari Sowa sampai Sai sekitar satu jam, meskipun berjarak sekitar enam kilometer. Seorang lelaki warga Desa Sai berkata kepada kami, “Jalan tanah ini sampai Kiwu. Dekat dari sini,” Ketika saya bertanya berapa jarak yang harus ditempuh?  Dia menjawab, “Sekitar 30-an kilometer dari sini!”

Setelah keluar dari Kota Bima, Tim Ekspedisi Rute Utara berencana melewati Bajo-Punti-Sowa-Wodi-Saba-Kiwu-Kampung Melaju-Kore untuk selanjutnya menjelajahi Semenanjung Sanggar. Namun lantaran musim hujan dapat membuat beberapa ruas jalan penghubung desa-desa tersebut, kami memutuskan untuk memutar melewat Dompu-Dorokempo-Kore.

Jalan tanah antara Sowa dan Sai, menanti perhatian para pemangku kebijakan sarana publik di Kabupaten Bima. Setidaknya jalan seperti ini terbentang 30-an kilometer dari Sai hingga Kiwu, pesisir utara Kabupaten Bima. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Jika jalan pesisir utara Jawa telah diperluas dan diperkeras sejak kedatangan Tuan Guntur alias Daendels pada 1809, jalan pesisir utara Kabupaten Bima masih menderita sejak erupsi mahadahsyat Gunung Tambora pada 1815.

"Jangan lewat jalan ini saat hujan," ujar Alan Malingi, pemerhati sejarah dan budaya Bima, yang mendampingi kami dalam rute ini. "Kalau sekarang turun hujan, kita harus menginap, tidak bisa jalan."