Alergi Akibat Lingkungan Kerja Terus Meningkat

By , Jumat, 20 Februari 2015 | 17:30 WIB

Alergi bisa dipicu oleh berbagai hal, termasuk faktor lingkungan kerja yang penuh paparan zat kimia. Tak heran jika saat ini kasus pekerja yang menderita alergi akibat lingkungan kerja terus meningkat.

“Setiap orang bekerja rata-rata 40 jam per minggu. Sepertiga hidupnya di tempat kerja, dan lingkungan kerja amat berbeda dengan lingkungan rumah,” kata dr. Astrid Sulitsomo, spesialis kedokteran okupasi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam acara paparan terbaru studi ekonomi kesehatan di Indonesia, di Jakarta (17/2).

Astrid menjabarkan, secara global asma menjadi reaksi alergi terbanyak di lingkungan pekerja. Hal ini membuat para pekerja menjadi tidak produktif. Karena serangan asma, seseorang tidak masuk kerja. Dari segi produktivitas, perusahaan mengalami kerugian.

Di beberapa tempat kerja, ada yang menjadi penyebab alergi pada karyawannya secara signifikan.

“Paling tinggi (angka alergi pada karyawan) yakni di pabrik deterjen, bisa hampir  50 persen alergi. Kedua yakni di perusahaan bakery atau tepung roti, sebesar 30 persen,” terang Astrid.

Biasanya, alergi pada pekerja tidak melalui proses alergi sensitisasi atau turunan keluarga. Inilah yang mengkhawatirkan dari meningkatnya penderita alergi. Selain asma, reaksi alergi tampak pada kulit. Alergi pada kulit dinilai lebih mudah dikenali daripada asma atau gangguan pernapasan.

“Untuk kulit juga banyak, khususnya dari zat kimia. Kelainan kulit ada dua, pertama yaitu iritasi dari bahan kimia yang keras. Kedua, alergi. Alergi ini mulai dari yang ringan seperti biduran atau merah-merah lalu hilang lagi. Untuk alergi berat, bisa terjadi luka,” ujarnya.

Perlindungan saat kerjaMeskipun memakai alat pelindung kerja seperti masker, orang yang sudah terpapar alergen sekecil apa pun tetap rentan terhadap asma. Astrid mengungkapkan pilihan yang muncul dari kondisi tersebut.

“Pilihannya yakni dia tidak bekerja di tempat yang ada pemicu alergi. Ada saja yang tidak mau pindah dari pekerjaannya karena keahliannya, tapi tetap perlu diberi tahu risikonya. Tidak mungkin diobati terus, sekali alergi tetap alergi, tidak bisa hilang. Selebihnya itu pilihan masing-masing,” tutur Astrid.

Pilihannya, tidak bekerja lagi di tempat yang ada pemicu alergi. Sebab alergi tidak mungkin diobati terus, sekali alergi tetap alergi.

Memiliki riwayat alergi atau tidak, pekerja harus tahu bekerja dengan bahan kimia apa saja. Banyak pekerja sering kontak dengan bahan kimia tertentu. Oleh karena itu, dokter okupasi akan menjelaskan kemungkinan penyebab alergi di tempat kerja.

“Apapun pekerjaannya, kenali pekerjaan dan cara kerja yang baik dan aman itu bagaimana. Jangankan yang di kantoran, kalau tidak tahu cara kerja dan salah melakukan sesuatu bisa menimbulkan penyakit,” ujarnya.

Dokter spesialis komunitas sekaligus Ketua Program Studi Magister Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia, Herqutanto menjelaskan, kesehatan masyarakat dilindungi pemerintah.

Namun, dalam pelaksanaannya butuh kerja sama dari masyarakat dan perusahaan terkait. Ini juga berpengaruh dalam meningkatkan kualitas hidup pekerja secara khusus. Alergi yang timbul dari lingkungan pekerjaan secara tidak langsung menjadi tanggung jawab perusahaan.

“Secara prinsip, perusahaan harus membayar biaya berobat atau pengobatan karyawan yang terkena alergi akibat lingkungan kerja, tetapi harus diperhatikan juga kontrak kerjanya. Kadang-kadang banyak pekerja harian, tentu perusahaan tidak bisa membiayai,“  terang Astrid.

Jika memang mengalami alergi akibat pekerjaan, pekerja dianjurkan terdaftar dalam asuransi tenaga kerja agar bisa mendapat kompensasi. Bila perusahaan tidak membiayai pengobatan alergi, asuransi bisa menjadi opsi.