Merajut Asa Nelayan Pantura

By , Jumat, 20 Februari 2015 | 16:30 WIB

Pekat masih menyelimuti Pasir Putih. Beberapa nelayan sudah mempersiapkan keberangkatannya ke laut lepas. Seperti yang sudah-sudah, mereka melaut hingga 15 hari lamanya. Melewati gelombang tinggi guna menyambung hidup.

Sirat adalah satu dari sekian banyak nelayan yang mendiami desa ini. Dengan perahu kecil ia melewati celah sempit muara yang sudah penuh dengan kapal kayu berbotot 8 GT. Kemarin dia menembar jaringnya sepanjang 800 meter, dengan penuh harap Sirat memacu perahunya ke tengah laut. 

Hari itu bukan hari baik bagi Sirat, tak sampai sekilo jumlah rajungan yang terperangkap di jaringnya. Hampir sejam lamanya Sirat menarik jaring, harapan demi harapan menyertai tangannya yang perkasa. Namun nasib berkata lain. 

Sirat, satu dari sekian banyak nelayan yang menggantungkan hidup dari laut. Di pesisir utara Pulau Jawa, desa nelayan tersebar di sepanjang garis pantainya. Mereka mempertaruhkan nyawa menantang gelombang. Kehidupan yang keras telah menjadi makanan sehari-hari para awak kapal yang berangkat melaut. 

Jika hasilnya bagus, para awak kapal bisa membawa pulang uang hingga jutaan rupiah. Namun jika sedang tidak beruntung, bahkan biaya untuk melaut pun tak sanggup ditutupi. Jika musim sedang buruk, para nelayan tidak melaut berminggu-minggu lamanya. Selama itu pula mereka tak punya uang untuk menghidupi keluarga. Tak jarang jalan terbaik adalah berhutang kepada pemilik modal. 

Sumber permasalahan akan bermula disini. Para pemilik modal membeli ikan hasil tangkapan para nelayan dengan harga sangat rendah. Jika begini bagaimana bisa hidup dengan hasil tangkapan yang sedikit dan harga ikan yang jauh dari standar yang layak?

Jeritan nelayan tak berhenti sampai disitu. Peraturan pemerintah melarang para nelayan untuk melakukan penangkapan dengan alat-alat yang tidak ramah lingkungan. Beberapa dari mereka mampu memahami, tapi banyak juga yang memohon agar diberikan solusi alternatif bagi mereka dalam melaut. 

Sekarang, bagaimana kelanjutan hidup para nelayan tradisional kita diantara hiruk-pikuk penangkapan kapal asing yang gencar dilakukan oleh Kementerian Kelautan? Apakah mereka bisa bertahan diantara kemajuan teknologi penangkapan ikan dengan uang dan peralatan yang sangat terbatas?