Tumis Pakis "Kapten Haddock" dari Tambora

By , Jumat, 20 Februari 2015 | 19:05 WIB

Suparno, namanya singkat. Lelaki itu berjenggot dengan tatapan nanar namun sejatinya berhati kordial. Bahkan, dia suka berkelakar. "Nah, saya ini premannya preman, lho," ujarnya. "Saya ini juru kunci Tambora ha... ha... ha..."

Sepintas jenggotnya mengingatkan saya tentang sosok Kapten Haddock di seri petualangan Tintin karya Herge yang sohor. Bedanya, sepanjang yang saya kenal, Parno tidak gemar minum alkohol.

"Asal saya dari Pati," ujar Parno dengan logat Jawa. Sejak satu dasawarsa lebih, dia telah menjabat sebagai kepala kebun kopi di Afedeling Besaran. Meskipun berperawakan kekar dan bertampang sangar, hobi sejatinya jauh dari keangkeran sosoknya: memasak.

Siang itu dia tengah sibuk di dapur rumah dinasnya, sebuah vila kayu yang dibangun pada 1930-an. Warga menyebut vila itu dengan 'Rumah Atas', yang berada di perkebunan kopi Afdeling Besaran. Saya dan fotografer Dwi Oblo bermalam di rumah tua itu.

!break!
Tumis pakis hasil racikan Suparno, kepala kebun kopi Afdeling Besaran, Tambora. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Parno adalah fenomena. Dia lebih dari sekedar tuan rumah. Setiap hari Sang Kepala Kebun itu menyiapkan teh dan kopi. Pagi hari, dia menjelma sebagai chef untuk sarapan, meracik santapan makan siang dan makan malam. Ketika siang, Sang Kepala Kebun itu merangkap pemandu jalan untuk kami.

Sementara pada malam hari,  Parno merangkap juga sebagai penjaga malam. "Kita masak tumis pakis ya," ujarnya sembari merajang bawang merah. "Sejak kecil saya memang sudah senang memasak."

Dia menyiapkan bumbu di atas telenan: bawang merah, bawang putih, cabai rawit. Sementara kacang panjang, tomat, toge, dan pucuk pakis yang masih muda telah siap diolah. "Tumis di Jawa itu bumbu bawang merah dan bawang putihnya dirajang," ungkapnya. "Kalau di sini [Tambora] tumis di tumbuk."

Dia tertawa lebar ketika saya berkelakar bahwa sesangar Parno pun, air matanya bisa berlinang jika mengiris bawang merah. Parno meracik masakan sembil bersenandung lirih lagu Gugur Bunga. Entah mengapa dia kerap bersenandung lagu-lagu melankolis. Mungkin sosok Parno mengingatkan saya tentang ungkapan "lelaki bertampang sekuriti, namun berhati Hello Kitty". !break!

 
Rumah Atas di Afdeling Besaran. Vila kayu yang dibangun oleh perusahaan perkebunan swasta pada 1930-an. Sedikit orang yang berminat bermalam di sini, namun kami merasa kerasan dalam kehangatan suasananya. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

"Silakan makan," ujarnya ramah. Masakan tumis pakis menguarkan aroma mengundang hasrat lapar. Disajikan bersama telur dadar, mie goreng instan, dan ikan.Sambil bersantap, dia mengisahkan awal karirnya yang bermula sebagai keamanan seluruh afdeling perkebunan kopi di Tambora pada 1978.

Perkebunan ini terhampar di Desa Oibura, Tambora, Kabupaten Bima. Hindia Belanda mewariskan tiga afdeling di pinggang Gunung Tambora seluas 2.000 hektare, namun kini menyusut menjadi sekitar 500 hektare.

Tumis pakis ala Parno membuat lidah menari-nari. Cabai rawit yang terselip di antara kacang panjang dan pakis menjadi kejutan bersantap nan lezat. Ini kali pertama saya merasakan tumis pakis, hidangan yang awalnya saya tidak tega untuk menyantapnya karena mengingatkan tanaman hias  kegandrungan ibu saya di pekarangan rumahnya.