Fungsi bahasa pun terangkum singat dalam peribahasa klasik, bahasa menunjukkan bangsa. Makna di baliknya mengungkapkan baik-buruk sifat dan tabiat orang dapat dilihat dari tutur kata atau bahasanya.
Walaupun Indonesia mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, tetap tidak menampik ratusan bahasa tradisional yang tersebar di Nusantara. Bahasa tradisional justru turut memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, serta menjadi bagian dari kekayaan budaya Tanah Air.
Namun, tidak bisa dimungkiri, terjangan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari kian tak terhindari. Terlebih di antara generasi muda. Demi bersaing di era globalisasi, anak-anak sedari dicekoki penguasaan bahasa asing tanpa diimbangi bahasa ibu. Ironis, bukan hanya satu-dua anak yang lebih menguasai bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Apalagi memahami bahasa tradisis dari etnis yang mengalir dalam darahnya.
Pada 1999, UNESCO pun menetapkan 21 Februari sebafai hari bahasa ibu internasional untuk mempromosikan bahasa daerah, pemahaman multikulturalisme, dan multilingualisme atau kecakapan menururkan banyak bahasa. Tanggal ini sekaligus menjadi momentum memperingati peristiwa unjuk rasa mahasiswa Bengali dari Universitas Dhaka dan masyarakat umum, ketika Bangladesh masih menjadi bagian dari wilayah Pakistan, pada 1952.
Saait itu, massa pengunjuk rasa yang mayoritas berasal dari Suku Bengali memperjuangkan bahasa ibu mereka, bahasa Bengali, sebagai salah satu bahasa resmi di Pakistan. Unjuk rasa ini memakan korban jiwa. Sebelumnya, pemerintah setempat mengesahkan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa resmi di Pakistan.
Ketika bangsa Bengali mengorbankan nyawa demi hidupnya bahasa tradisi, bagaimana dengan kita?