Gairah Sastra di Media Sosial

By , Selasa, 24 Februari 2015 | 17:03 WIB

Di tengah kehidupan sastra di media koran yang cenderung stagnan, kini sastra digital kembali bergejolak di media sosial, terutama di blog atau mikroblog. Kini muncul satu gaya baru dalam bersajak yang dinamakan ”sonian”, merujuk pada kreatornya, penyair asal Bandung, Soni Farid Maulana.

Sonian adalah puisi sepanjang empat baris berpola 6-5-4-3 suku kata pelarik. Makin ke bawah, penyair makin sulit mencari kata karena pilihan kata makin sedikit. Ini membuat puisi dalam bentuk ini tidak pecah, melainkan kian fokus pada ekspresi pengalaman batin.

Salah satu sonian karya Soni, misalnya berjudul ”Sumur Tanpa Dasar” (mirip lakon karya sutradara Arifin C Noer): ”lumpur kata-kata/ lenyap cahaya/ di hati./ Kau/ meraung”.

”Jika diibaratkan mata panah yang terbalik, jelas sudah bahwa kian ke bawah kian runcing,” kata Soni, yang pertama kali memublikasikan sonian melalui akun Facebook-nya pada 20 Januari 2015. Sehari kemudian, dia membuat grup sonian di Facebook. Ternyata banyak orang menyambutnya, seperti penyair Ewith Bahar dan Farick Ziat, Redaktur Fiksi Majalah Gadis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ’sastra adalah ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan, kemudian direka dan disusun dengan bahasa indah sebagai sarananya sehingga mencapai estetika tinggi’.

Nia Samsihono, penyair dari Pusat Bahasa Jakarta, menggarisbawahi, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada estetika saja.

Ewith Bahar juga menulis di dinding Facebook-nya, ”Ada genre puisi baru di Indonesia, sonian. Ini kabar girang karena sudah berbilang puluh tahun para penyair kita menulis syair dengan mengikuti puisi-puisi yang sudah ada selama ini.”!break!

Pada saat hampir bersamaan, muncul grup haikuKu di Facebook, dengan administrator antara lain Hikmat Gumelar dan Yusef Muldiyana.

Haiku adalah puisi pendek dengan format 5-7-5 suku kata pelarik sebagaimana dibuat Masaoka Shiki dari Jepang. Haiku merupakan revisi akhir pada abad ke-19 dari jenis puisi hokku yang lebih tua.

Meski berasal dari Jepang, haiku sudah menjadi milik dunia, dan siapa pun berhak menulis. Haiku menggunakan kigo sebagai penanda musim (seperti salju, angin, pagi, batu, awan, rumput) dan kireji sebagai unsur penyempurna dalam penulisan. Salah satu haikuKu karangan Diro Aritonang, yang juga pengelola grup ini, misalnya: ”Otaknya minus/ Kelakuannya rakus/ Ya…./ politikus!”.

”Anggota haikuKu sudah lebih dari 9.000 orang, mulai pengamen, pengusaha, siswa sekolah, dokter,” kata Hikmat.

Menurut pengajar Sastra Indonesia dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Aprinus Salam, gairah bersastra di media sosial ini belum mengarah kepada satu genre tertentu khas dunia maya.