Semangat Berjuang Memuliakan Pangan Lokal

By , Jumat, 6 Maret 2015 | 09:00 WIB

Walau wajah dipenuh keriput, rambut hitam bercampur uban, namun semangat seorang petani tak membuatnya berhenti akan peduli dengan pangan lokal. Dialah Mbah Suko, pria asal Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia seorang petani yang menjual beras organik jenis mentik wangi yang termasuk varietas lokal. Namanya pun sudah terkenal dikalangan petani dan juga restoran-restoran di Jogja yang menggunakan berasnya.

Pria yang akrab disapa sebagai Simbah ini, lahir dan dibesarkan di lingkungan petani. Tanah di sekitarnya pun dilingkupi kesuburan alam, dari hasil letusan Gunung Merapi. Dia pula mencontohkan peran pupuk-pupuk non-alami selama kiprahnya menjadi petani. Bahkan ayah dan kakek buyutnya tidak pernah mengenal “ramuan” Simbah sebelumnya, di masanya.

Berkat kepedulian dan berjuang membudidayakan kembali padi-padi lokal, Simbah memperoleh penghargaan Kehati Award Kategori Prakarsa Lestari KEHATI 2001. Ia bahkan tak tahu bahwa praktek pertanian yang dilakukannya tergolong organik. Sebab, ia hanya memaknai ingin melestarikan pertanian secara alami, melalui pemuliaan benih-benih padi lokal lebih dari 30 jenis. Tak hanya itu, Simbah juga mengajarkan pembuatan pupuk kompos kepada petani lainnya.

“Saya kemukakan agar petani jangan lepas dari T4, yaitu Teliti, Tekun, Telaten, dan Titen."

Setelah mendapatkan penghargaan Kehati Award, ia mengungkapkan dirinya mengemban tanggung jawab yang berat. Namun di sisi lain, ia juga senang karena dikenal berbagai instansi, termasuk menjadi pembicara berbagai kelompok tani dengan membagikan pengalaman bertani organik. “Petani bisa menjadi guru dan bisa menjadi murid. Simbah bisa menjadi guru, juga bisa menjadi murid. Ilmu yang saya dapatkan coba saya terapkan”, katanya.

Di setiap menjadi pembicara, Simbah selalu mengingatkan tentang T4. “Saya kemukakan agar petani jangan lepas dari T4, yaitu Teliti, Tekun, Telaten, dan Titen. Di sini saya menggugah pemakaian pola-pola sistem pertanian lama. Meski tradisional, disebut orang kolot atau orang kuno, tetapi tujuannya untuk melestarikan sumber daya alam yang ada.”

Mbah Suko belajar dari kearifan lokal tentu berkat turunan orangtua dan pendahulunya sebagai generasi petani. Di belakang rumahnya saja, Simbah mengembangkan sedikitnya 35 varietas padi lokal yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang telah ia kumpulkan. Bahkan sekitar 60 persen lebih petani tertarik dengan budidayanya.

Prinsip kebersamaan yang dibangun Simbah dalam mengembangkan kedaulatan petani dan bercocok tanam alami adalah menerapkan unsur “persaudaraan”, baik itu saudara betulan, teman, atau kenalan. “Lebih banyak saudara artinya lebih banyak rezeki, dan ilmu saya, saya tularkan entah lewat omongan, lewat coretan, lewat praktek. Dan bila saya sudah tiada, saya bisa diingat, ‘oh ini dahulu Simbah yang mengajari’, jadi mish tertanam di kepala,” ujarnya.

Sekarang, Mbah Suko hanya tinggal kenangan. Betul apa yang ia katakan, bahwa dirinya serta kiprahnya dalam memuliakan pangan lokal tetap hadir dalam ingatan.