Dahulu pada tahun 1815, sebuah gunung berapi di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus, menjadikannya salah satu bencana alam terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia. Akibat yang ditimbulkannya tidak hanya di Indonesia, namun juga di beberapa tempat di belahan bumi lain.
Tambora, yang meletus pertama kali pada April 1815, merupakan sebuah gunung berapi aktif yang terletak di antara dua wilayah kerajaan besar di pulau Sumbawa. Nusantara yang pada saat itu masih berada dalam masa transisi (interregnum) pemerintahan Inggris di bawah Letnan Gubenur Th. S. Raffles ke pemerintahan India Belanda, semula menduga bahwa suara yang dihasilkan akibat letusan Tambora tersebut merupakan suara letusan-letusan meriam yang dikirim sebagai bentuk penyerangan. Karenanya, sejumlah detasemen pasukan dikirim dari Yogyakarta ke pos-pos keamanan terdekat sebagai bentuk perlindungan.
Letusan Tambora juga terdengar hingga ke Makassar, menimbulkan dugaan bagi pemerintah setempat bahwa terjadi serangan bajak laut dari arah laut selatan (Laut Flores) sehingga satu detasemen pasukan pun dikirim ke laut untuk melindungi kota.
Letusan Tambora yang terjadi sepanjang tahun terhitung April 1815 tersebut mengakibatkan dua kerajaan besar yang terletak di lereng-lerengnya musnah tertimbun lahar. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Papekat dan Tombura, dua unit politik di pulau Sumbawa yang kini keberadaannya dahulu hanya bisa dibuktikan dari arsip-arsip VOC yang pernah melakukan kontrak dengan Kompeni selama abad ke-17 dan 18 Masehi.
Lebih jauh lagi, letusan Tambora juga memberikan dampak global pada cuaca di negara lain bahkan hingga mencapai Amerika dan Eropa. Banyak tulisan-tulisan yang memberikan bukti bahwa efek letusan gunung yang berada di utara pulau Sumbawa tersebut sampai ke daerah mereka, salah satunya yang ditulis Dr. Keith C. Heidorn, seorang pakar cuaca Amerika, yang juga memberikan sebutan atas efek letusan Tambora sebagai The Year Without Summer.
Tambora sendiri dulunya merupakan sebuah gunung yang berdiri kokoh di sebelah barat laut pulau Sumbawa, dengan ketinggian 4.000 mdpl. Namun seiring dengan meletusnya gunung tersebut secara berkala sejak tahun 1815, ketinggiannya kian menyusut hingga pada 2.851 mdpl. (Lihat juga: Tambora Kehilangan Sepertiga Tubuhnya ).
Meletusnya gunung Tambora yang begitu heboh menginspirasi banyak orang untuk membuat cerita-cerita rakyat yang kemudian diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya, juga prosa dengan syair-syair yang indah.
Selain itu, Tambora kini merupakan objek pendakian yang digemari para pendaki gunung lokal maupun mancanegara karena pemandangan yang disuguhkannya sangat indah dan menawan.