"..maka teranglah hari, maka melihat rumah dan tanaman sudah rusak semuanya."
Petikan di atas merupakan bagian dari sajak 'Alamat Pecah Gunung Tambora' yang ditulis Bo' Sangaji Kai.
Begitu kuat membekas dalam memori orang-orang yang saat itu menyaksikan kedahsyatan erupsi gunung Tambora 200 tahun silam, sehingga syair dan sajak tentangnya banyak dibuat oleh sastrawan-sastrawan Nusantara.
Dalam salah satu kisah yang ditulis oleh Roorda van Eysinga, berjudul "Asal Mula Meletusnya Gunung Tambora", dikisahkan bahwa Tambora meletus akibat murkanya seorang musafir dari Bengkulu yang bernama Tuan Said Idrus.
Bermula dari datangnya Tuan Said Idrus ke tanah Tambora, ia sampai ke suatu masjid yang di dalamnya terdapat seekor anjing yang sedang tidur. Tuan Said Idrus lantas memukul dengan maksud mengusir sang anjing, yang ternyata dijaga oleh seorang penduduk lokal. Kontan sang penjaga marah, mengatakan kepada Tuan Said bahwa pemilik anjing tersebut adalah sang Raja Tambora.
Menolak pengakuan siapa persisnya pemilik sang anjing, Tuan Said Idrus berkata, “Siapapun pemiliknya, pekarangan ini suci karena merupakan pekarangan masjid, rumah Tuhan, Allah subhanallahuwataala. Dia yang membawa binatang ini ke rumah Allah berarti seorang yang kafir.”
Atas pengaduan sang penjaga anjing yang marah kepada Raja atas ucapan Tuan Said Idrus, Raja mengutus orang untuk membunuh Tuan Said di atas gunung Tambora.
Singkatnya, setelah pembunuhan Tuan Said Idrus, meletuslah gunung Tambora dan menjadikannya salah mitos penyebab terjadinya letusan gunung Tambora di tanah Sumbawa: balas dendam dari Tuan Said Idrus atas pembelaan yang ia lakukan untuk rumah Tuhannya.
Dari mitos dan kisah-kisah rakyat itulah Tambora dikenal, menggelitik para peneliti untuk melakukan riset-riset lebih lanjut akan keberadaan gunung Tambora dan penyebab ilmiah terjadinya letusan pada April 1815 lalu.